BAB 22 : Switch

49.2K 4.6K 1.7K
                                    

Ayok kita ngebut sampe ke last part kemarin

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ayok kita ngebut sampe ke last part kemarin. Tapi sumbangin komen dulu sebagai tanda bayar parkir 😼

***

Monika tidak kunjung memberi pergerakan, hal yang membuat Niskala semakin digempur rasa bersalah. Anak itu menangis kian keras

"Monika ... jangan meninggal ... maaf ...."

Niskala menangis, menguar ke seluruh sudut kamar, termasuk pada gendang telinga Moana yang baru saja keluar kamar mandi. Gadis itu membatu, badannya terasa merinding sendiri mendengar suara menangis anak kecil. Seolah racun yang mematikan nyawa, isi perut Moana mual. Rajutan ingatan di masa lampau kembali terseret ke permukaan, bagai cuplikan kaset rusak, seluruhnya berputar secara abstrak.

"Kita bakal pulang, Ra. Zayyan bakal bawa Nara keluar dari sini. Janji, Nara ...."

"Sshh...." Moana memegangi kepalanya. Nyeri luar biasa, bola mata gadis itu mulai memanas, sekujur tubuh Moana gemetar hingga tegak badannya perlahan runtuh. "Siapa ...."

"KAKAK AKU JANGAN DIMASUKKIN KE SITU!!!"

"NARA AJA! NARA AJA! JANGAN ZAYYAN!!"

"AYAH JEMPUT!! KITA MAU PULANG!!!"

Moana tersentak. Suara-suara menyeramkan itu berdenging di sekelilingnya. Sekarang yang menangis di pendengaran Moana bukan hanya satu suara, melainkan banyak sekali, terlalu banyak ... hingga tidak ada bedanya dengan gemuruh petir. Raungan, jeritan dan teriakan histeris. Semuanya kembali muncul... dan suara mereka, suara anak-anak. Moana menggeram.

Perasaan halusinasi sering dialami oleh mereka yang memiliki kepribadian ganda, itu mirip seperti seseorang pengidap skizofrenia. Dan Moana tengah mengalaminya, tersiksa oleh perasaan halusinasi berupa terganggu atas suara aneh yang tidak jelas dan entah darimana asalnya. Di mana itu bisa memunculkan lagi titik depresinya, sebab yang menghantamnya sekarang adalah bagian dari trauma dalamnya.

Luka dua belas tahun lalu. Di mana Kanara menjadi saksi mata atas banyaknya raga yang dibelek secara paksa. Moana tidak ingat jelas. Moana tidak tahu. Ini trauma Kanara, luka dari Madava Fanegar .... yang dibagi kepada dirinya.

"Diem ...." Moana mendesis lirih, dia Menggapai-gapai permukaan dinding sebagai pegangan. Ingin pergi, ingin berlari, menahan diri untuk tidak kelepasan. Akan tetapi Niskala tidak berhenti, dia masih terus menggaung.

"Lala, pergi Lala ... jangan nangis...."

Pria dewasa dan tangisan anak-anak, adalah ketakutan tidak lazim yang Moana rasakan seumur hidupnya. Ini aneh, terlihat tidak logis, namun kenyataannya begitu.

Tidak ada suara Niskala, hilang begitu saja, seluruhnya tertutup oleh jeritan anak-anak asing. Sarat tersiksa, sarat ingin dibebaskan dan Moana semakin tertekan hebat. Tidak bisa begini, mereka semua harus menutup mulut. Mereka semua harus berhenti. Dada Moana sakit, dan akal sehatnya luruh entah kemana.

ENIGMA : Last FlowerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang