☔8. Trauma Masa Lalu

38 16 21
                                    

☔☔☔

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

☔☔☔

Kami berhenti di salah satu rumah makan Padang. Kata Pak Riandra, ini adalah salah satu rumah makan langganan keluarganya. Unik sekali, rumah makan Padang yang lumayan besar, ada beberapa hiasan dinding bertuliskan aksara China. "Pak, kenapa ada hiasan China-nya?" tanyaku yang penasaran.

"Pemiliknya nikah sama orang China," jawabnya. Aku hanya mengangguk paham. Setahuku bukannya orang China dilarang menikah dengan pribumi, ya? Ah, entahlah. Mungkin zaman sudah berubah, jadi pola pikir manusia pun berubah.

Tadi Pak Riandra sudah memesan dua porsi nasi Padang. Terakhir aku membeli nasi Padang itu tujuh tahun yang lalu. Saat keluargaku masih baik-baik saja, belum berpisah dan hidup dengan keluarga mereka masing-masing. Sejak saat itu sampai sekarang, aku jarang membeli nasi Padang.

"Ri? Apa ... ini mengingatkan kamu sama sesuatu di masa lalu? Saya lihat kamu malah bengong dari tadi." Ucapannya seolah-olah paham dengan yang aku alami.

"Nggak apa-apa, Pak." Kupikir bukan solusi yang baik bercerita dengan orang yang baru kukenal. Terlebih lagi ia adalah kakak dari orang yang selalu membenciku, juga orang yang selalu merasa tersaingi olehku.

"Kamu ... yakin? Saya bisa jadi pendengar yang baik, loh," ucapnya dengan kedua alis yang terangkat. Bahkan, pendengar yang baik belum tentu jadi penjaga rahasia yang baik juga.

"Hallo, mau pesan apose, ada yang bisa Maria bantu?" Seorang pria bertubuh gempal dengan seragam karyawan berwarna merah menghampiri meja kami. Orang itu adalah pegawai toko cincin yang tempo hari bertemu denganku. Jadi, dia pindah kerja di sini ternyata.

Dia menatapku dengan wajah kagetnya. "Loh, yey bukannya yang waktu itu dibeliin cincin sama pacarnya?" Ia kemudian celingukan seperti mencari seseorang. "Pacarnya mana, Say?"

Mendengar itu, Pak Riandra langsung menatapku. "Ngh, yang waktu itu bukan pacar saya, Mbak Maria. Saya cuma ... anterin dia beli cincin, hehe."

Wajahnya terlihat sedih saat aku mengatakan itu. "Sayang banget, padahal yey sama dia udah klop banget, udah cucok gitu."

"Ini ... teman kamu, Ri?" Pak Riandra angkat bicara setelah sedari tadi hanya menyimak.

"B-bukan, Pak. Waktu itu kenal aja pas nemenin Ra-" Aku mengentikan ucapanku. Pak Riandra tidak boleh tahu jika aku dulunya lumayan dekat dengan suami adiknya. Bisa-bisa ia juga akan membenciku. "Lupakan saja, Pak. Kenalkan, ini Maria."

"Terus yang ini begindang? Cucok juga, loh, Say. Pacar barunya, ya?" tanyanya semakin menjadi-jadi.

"Ngh, tadi kami udah pesan dua porsi, Mbak. Bisa tolong secepatnya? Kami udah laper." Karena malas menanggapi Mba Maria yang kalau bicara bisa ke mana-mana, aku alihkan saja.

"Bisa dong, Say. Tunggu bentar, yey." Sebelum pergi, ia terlihat seperti mengibaskan rambutnya, padahal rambutnya saja pendek seperti laki-laki. Setelah itu, ia berjalan ke belakang untuk mengambil pesanan kami.

"Yang benar kamu nggak kenal dia?" tanya Pak Riandra. Aku hanya tersenyum dan menggeleng. "Jadi, tadi kamu mau cerita, kan?" lanjutnya. Sontak aku melotot kaget. Perasaan tadi aku tidak mengatakan jika aku akan bercerita.

"Tapi tadi saya nggak-"

"Hus, nggak usah nggak enak gitu. Saya bisa jaga rahasia, kok, tenang aja. Kamu cerita sambil makan aja, saya dengerin, kok." Mau menolak, tetapi beliau tetap kekeh mau mendengarkan ceritaku. Aku kemudian mengalah, tidak ada salahnya juga jika ia tahu.

Tak beberapa lama kemudian, Mbak Maria mengantarkan pesana kami. "Pesanan datang, selamat makan, ya, Say. Asikin ae," ucapnya lemah gemulai.

"Makasih, Mbak," ucap Pak Riandra pada Mbak Maria. Laki-laki itu kemudia pergi untuk melayani pengunjung yang lain.

"Jadi, gimana, Ri?"

Aku yang sedang makan menoleh padanya. "Dulu waktu saya baru masuk SMA, keluarga saya masih harmonis. Sering makan di luar bareng-bareng, sering banget beli nasi Padang buat dimakan bertiga. Saya itu anak tunggal, jadi deketnya sama orang tua. Tapi semuanya seperti hilang gitu aja, Pak, saat Papa saya ketahuan menikah diam-diam dengan teman kerjanya. Bahkan ternyata mereka memiliki satu orang anak, tanpa sepengetahuan saya dan Mama. Yang lebih mengejutkannya lagi, Mama ternyata juga selingkuh dengan seorang berondong." Aku menarik napas pelan, menatap pada satu titik. "Entahlah, bahagia itu seakan lenyap saat mereka memilih berpisah dan hidup dengan keluarga masing-masing. Meninggalkan saya yang hidup seorang diri sampai detik ini. Alhasil, dari kelas dua SMA saya hidup seorang diri. Saya memilih pindah dari rumah kami yang sekarang kosong. Saya pindah ke kost yang dekat dengan sekolah untuk mengurangi biaya transportasi. Tiap siang dan sore saya bekerja di kafe sebagai pelayan untuk memenuhi kebutuhan saya. Sampai akhirnya kuliah, saya pindah ke asrama. Setelah lulus kuliah, saya melamar di kantor Pak Rashi dan memutuskan untuk mencicil rumah yang tidak terlalu besar, yang cukup ditinggali saya sendiri."

"Jadi itu alasan kamu membenci pernikahan?" tanya Pak Riandra.

Aku mengangguk perlahan. "Nggak cuma pernikahan, Pak. Orang tua saya berpisah di bulan januari. Yang harusnya kami menyambut awal tahun dengan suka cita, malah diawali dengan luka." Aku yang tadinya bercerita sambil memandang ke satu titik, fokusku seakan hilang saat menyadari pertanyaan darinya. "Tunggu, kok, bapak bisa tahu saya benci pernikahan?"

Ia tersenyum. "Rashi bilang, dia punya sahabat yang trauma dengan pernikahan. Tapi dia enggan menyebut nama sahabatnya itu. Dan ... saya rasa orang yang diceritakan Rashi itu adalah kamu. Benar?"

Aku terdiam, tidak menjawab pertanyaannya. Padahal sebisa mungkin aku menyembunyikan pada Pak Riandra jika aku pernah bersahabat dengan Rashi, ternyata dia sedang tahu lebih dulu. "Ri, kalau kamu butuh apa-apa, ada saya. Jangan sungkan." Bahkan, kalimat yang ia ucapkan ini tak bisa aku percaya. Semua laki-laki hanya bisa mengatakan itu, tetapi tidak bisa membuktikannya.

"Pesanan datang, silakan di makan, Say." Mbak Maria tiba-tiba saja datang saat kami saling diam. Itu tentu saja membuat kami kaget.

"Makasih, Mbak," ucapku pada Mbak Maria. Ia hanya tersenyum dan mencolek daguku, lalu kembali ke dapur. Dasar, bencong genit!

"Kok, punya saya ada sayurnya, sih?" keluh Pak Riandra saat mendapati di piringnya ada sayur bayam. Apakah ia tak suka makan sayur?

"Kenapa, Pak?" tanyaku.

"Ini, Ri, di piring saya ada sayurnya. Saya padahal udah pesan yang nggak ada sayurnya. Kamu mau?" Belum juga aku menjawab pertanyaan, ia sudah langsung memindahkan sayur-sayur itu ke piringku. Astaga, padahal punyaku pun sudah sangat banyak.

"Pak, tapi ... ini punya saya juga banyak, loh. Takut nggak habis, Pak."

"Nggak apa-apa kalau nggak habis, jangan dipaksakan. Sesuatu yang dipaksakan itu nggak baik, Ri."

Laki-laki ini ... tiap kata yang keluar dari mulutnya kurasa adalah sindiran. Layaknya seseorang yang telah tahu siapa aku. Aku kemudian menurut, kami makan dengan lahap.

☔☔☔

☔☔☔

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Hujan di Januari [TERBIT] ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang