11. Bunker

214 11 0
                                    

Aiden menyunggingkan senyum tipis ketika melihat Trixie yang kini telah kembali ke meja makan.

"Sudah selesai meneleponnya?"

Gadis bersurai pirang itu pun mengangguk, lalu menyerahkan ponsel kepada Aiden. "Terima kasih untuk ponselnya, dan terima kasih juga karena sudah menjaga Lena," ucapnya Trixie sambil tersenyum.

"Sama-sama, Angel. Sekarang duduklah agar kita bisa sarapan." Aiden menarik tangan Trixie untuk menuntun gadis itu agar duduk di sampingnya.

Dan Trixie pun seketika melotot horor, ketika melihat apa yang telah diisi oleh Aiden di dalam piringnya yang dipenuhi oleh makanan.

Apa lelaki itu mengira dirinya akan serakus itu memakan semuanya??

"Aiden, aku cuma mau sarapan yang ringan hanya sebagai penunjang aktivitas, bukan mau bekerja merekonstruksi jembatan!" Pekik Trixie ketika melihat tiga potongan tebal daging beef wellington, dua telur mata sapi, dua lembar roti panggang, tiga potong sosis daging domba, serta semangkuk sup jamur asparagus.

"Percayalah, kamu akan sangat  membutuhkan banyak energi untuk hari ini," kilah Aiden dengan satu tarikan senyuman lebar penuh arti.

"Habiskan semuanya, Angel."

"Aku bukan sapi. Porsi makanku tidak pernah sebanyak ini," bantah Trixie sambil mendelikkan manik biru safirnya kesal.

"Sini aku bantu." Aiden menarik piring Trixie, ketika ia melihat gadis itu yang sibuk memisahkan daun seledri dari makanannya.

Dengan kening yang berkerut dalam, Trixie menatap Aiden yang mulai membersihkan potongan seledri dengan sangat telaten, dan mengumpulkan semuanya ke dalam piring kecil.

Seketika memori di masa lalu pun menyerbu otaknya. Apa yang sedang dilakukan oleh Aiden saat ini sama persis dengan yang sering dilakukan oleh Leon.

Wajah cantik itu pun seketika diam-diam melukiskan senyum sedih. Cahaya yang semula bertahta di dalam manik sebiru batu safir itu pun meredup, mengingat kembali sang kekasih hati yang selalu menarik piringnya untuk membersihkan seledri dari piring Trixie.

"Kenapa kamu tidak memesan sebelumnya kepada pelayan untuk tidak menggunakan seledri?" Tanya Leon suatu ketika kepada gadis itu selagi mengambili seledri dari piring Trixie menggunakan sendok.

Trixie tersenyum dan menggeleng. "Aku suka aromanya yang menempel di makanan, hanya tidak suka jika harus memakan daunnya." Adalah jawaban Trixie waktu itu.

"Oke. Kalau begitu biar aku yang dengan senang hati akan selalu memisahkannya untukmu, Princess," sahut Leon yang kemudian tersenyum dan mengecup lembut kening Trixie.

Princess.

Leon dulu sering memanggilnya begitu, dan rasanya rindu sekali mendengar suara Leon yang memanggil dirinya dengan sebutan itu.

Tiba-tiba saja Trixie merasakan bibirnya sekilas dipagut, hal yang membuatnya tersadar dari lamunannya akan masa lalu.

"Kamu melamun," cetus Aiden yang lagi-lagi mencuri kesempatan untuk mengecup bibir Trixie. "Makanlah, Angel. Semua seledrinya sudah kupisahkan sekarang."

Trixie menatap nanar dengan mulai berkaca-kaca pada piring di depannya tanpa berkata-kata. Ah, apakah ia sanggup menjalani sarapan ini tanpa berurai air mata? Ingatan akan Leon yang menyerbu benaknya terasa menyesakkan.

Trixie meraih sendok dan mulai memakan sup jamur asparagus yang telah bersih dari seledri. Ia makan dalam diam, berusaha sekuat tenaga agar emosinya tidak pecah berantakan di depan Aiden.

Mereka berdua pun akhirnya sarapan dalam diam. Entahlah, mungkin Aiden juga ikut merasakan perubahan sikap hati Trixie dan memberikan ruang untuk gadis itu merengkuh kembali kewarasannya.

Trixie mendehem pelan untuk mencairkan kekakuan di antara mereka. Ia sudah tidak terlalu bersedih lagi sekarang, setelah berhasil menyingkirkan ingatan-ingatannya kepada Leon secara perlahan.

"Ngomong-ngomong, apa kamu tidak bekerja hari ini?" Tanya Trixie heran kepada Aiden. Trixie tidak tahu jam berapa sekarang, mungkin sekitar jam setengah 10 pagi.

Aiden menaruh garpu dan pisaunya di atas piring dan mengarahkan tatapannya kepada Trixie.

"Miller Corporation sedang menjalani pemeriksaan intensif  oleh pihak berwajib setelah kejadian kemarin," tutur Aiden, yang dinilai Trixie terlihat bersikap terlalu santai menyikapi berita itu.

"Jadi untuk sementara, seluruh operasional perusahaan kuliburkan dulu selama tiga hari."

Setelah Aiden mengucapkan kalimat terakhir, tiba-tiba seorang lelaki paruh baya berjalan agak tergesa ke arah mereka.

Rasanya Trixie mengenal lelaki yang sedang membisikkan sesuatu ke telinga Aiden itu. Oh iya, namanya Wilson, orang yang menyambut kedatangannya di gedung Miller Corporation kemarin.

Diam-diam Trixie memperhatikan raut muka Aiden yang semula santai dan tenang, kini perlahan berubah menjadi kaku dan tegang.

"Aiden?" Trixie pun bingung ketika tanpa aba-aba, Aiden tiba-tiba saja berdiri dari kursi dan menarik lembut tangannya.

"Ikut aku."

Trixie menelan ludahnya ketika kembali mendengar perintah dengan suara dingin dan ekspresi tak terbaca dari lelaki itu, mirip seperti perjumpaan awal mereka dulu.

Lelaki ini seolah memiliki dua kepribadian yang saling bertolak belakang. Yang satu suka menggoda dan sangat mesum, sementara yang satu lagi angkuh dan tak tersentuh.

Aiden membawa Trixie masuk kembali ke dalam Mansionnya dengan langkah yang agak tergesa, seolah sedang dikejar oleh sesuatu.

Trixie mengernyit bingung saat Aiden menggiringnya ke sebuah ruangan tak jauh dari pintu masuk Mansion, lalu menyibak karpet tebal di atas lantainya.

Aiden menghentakkan kakinya dua kali, lalu tiba-tiba saja sebagian kecil lantai di kamar itu pun bergeser.

Manik sebiru batu safir milik Trixie pun mengerjap kaget, ketika di balik lantai yang bergeser itu ternyata ada sebuah tangga dari tali yang disandarkan ke dinding, menuju ke sebuah ruangan gelap di bawahnya!

"Turunlah hingga ke dasar, lalu jangan pernah keluar lagi sebelum aku yang menjemputmu," titah Aiden sembari menatap lekat Trixie yang masih terlihat bingung.

Apa ini sebuah bunker rahasia? Apa Aiden bermaksud untuk melindunginya dari ancaman baru??

"Aiden, ada apa sebenarnya?? Apa kita dalam bahaya lagi??"

Satu tangan lelaki itu pun terjulur untuk merapikan helai pirang yang menutupi wajah Trixie, lalu mengusap pelan pipi gadis itu dengan lembut.

"Jangan cemaskan apa pun, karena aku tidak akan membiarkanmu sesuatu terjadi padamu, Angel."

Dan Trixie pun hanya tetap diam saat Aiden mengecup bibirnya, yang disertai sedikit lumatan lembut, entah untuk yang keberapa kalinya untuk hari ini.

Meskipun Trixie merasakan ada sedikit perbedaan, seolah Aiden ingin... mengucapkan selamat tinggal?

Tidak, ia pasti salah mengira. Bukankah tadi lelaki bersurai kelam itu mengatakan akan menjemput dirinya?

Trixie yakin Aiden akan menjemputnya kembali setelah apa pun yang akan terjadi nanti. Entah masalah apa pun itu, tapi ia memiliki keyakinan bahwa seorang Aiden Miller pasti mampu mengatasinya.

Walaupun Trixie merasakan keringat dingin dan menggigil yang mendadak menyerangnya, gadis itu tetap berusaha untuk menguatkan diri.

Ia tidak boleh membiarkan serangan penyakit anxiety disorder-nya kembali hadir.

Tidak, tidak boleh!

Saat ini sangatlah tidak tepat untuknya merasakan kecemasan. Ia harus percaya kepada Aiden, betapa pun kabut hitam misterius yang tebal masih menutupi jati diri lelaki itu.

Karena satu sudut kecil di dalam diri Trixie seolah ingin memberikan kesempatan dan kepercayaan kepada Aiden. Satu sudut kecil, yang bernama kata hati.

Maka meskipun kakinya mulai gemetar, Trixie pun menganggukkan kepala dengan patuh sebagai jawaban atas pernyataan Aiden sebelumnya.

"Masuklah ke dalam. Dan ingat, apa pun yang kamu dengar, jangan pernah keluar sebelum aku sendiri yang menjemputmu."

***

The Mafia BillionaireTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang