🥂1.7k vote and 1k comments for next chapter🥂
17. NESTAPA SI SELAMBA
Selisih paham dengan pasangan hal yang biasa. Beda pendapat dengan sahabat juga sudah lumrah. Namun bila orang tua dan anak saling gagal mengerti perasaan satu sama lain, apa jadinya?
—Marselino Raygan Bumantara bersama beban di kedua pundaknya.
Di depan meja riasnya. Duduk di atas kursi kecil yang satu paket dengan cermin berhias serta nakas tersebut. Gadis itu keringkan surai tebalnya memakai handuk kecil secara kasar dan terburu-buru, seolah tidak takut bila rambut indah yang ia miliki nantinya akan rontok berhelai-helai, sementara napasnya masih saja memburu.
Rasa kesal Alana pada Marsel belum juga mereda, bahkan setelah ia mandi menggunakan air dingin. Handuk di tangannya ia remas kuat-kuat guna melampiaskan emosi, pantulan sorot matanya di kaca bening itu menajam. Dirasa handuk tidak cukup mampu untuk mengeringkan rambutnya yang masih setengah basah, gadis itu colokkan hair dryer pemberian Jihan.
"Gara-gara dia aku jadi harus mandi dua kali begini!" Alana menyisir surai panjangnya tanpa perasaan, berbeda sekali dengan kebiasaan sedari kecilnya yang terkesan lembut. "Iss! Kok bisa sih, di dunia ini ada orang seperti Marsel?" Kemudian, perempuan itu bergidik. "Atau jangan-jangan, cowok itu memang ada kelainan pribadi lagi."
Alana membereskan semua barang-barang yang baru ia pakai kembali ke tempatnya semula. Ia teteskan vitamin rambut ke telapak tangan kanannya sebanyak dua kali. Lalu ia oleskan ke rambut hitamnya hingga merata. "Um ... apa semacam pembunuh berantai yang sedang kesusahan mengontrol emosinya?"
Gadis itu topang dagunya menggunakan tangan kecilnya. "Mereka kan suka tuh, lihat manusia lain hampir mati, dan tadi itu adalah awal gejalanya?"
Keningnya berkerut samar. "Masa iya, ada manusia normal yang tega ngelempar cewek, yang sama sekali enggak bisa berenang ke tengah kolam?" Lalu mendengus kasar. "Mana kolam renangnya dalam lagi! Untung aku masih dikasih kesempatan buat bernap—"
Drrtt
Getaran ponsel di samping kanannya menghentikan segala tuduhan miring yang Alana tujukan kepada Marsel. Sebuah panggilan video dari aplikasi berlogo hijau itu mengalihkan atensinya. Cekatan Alana terima ajakan video call dari dua orang yang sangat gadis itu kenali, ikut bergabung usai memasang senyuman paling manis yang ia miliki.
Sapaan hangat dari Jihan dan Damar berbarengan dengan kalimat basa-basi 'selamat pagi' yang Alana ucapkan. Gadis itu pandangi wajah sumringah Ajeng juga Jarwo yang sangat ia rindukan. Ah, rasanya Alana ingin menangis kencang, kemudian mengadukan segala perbuatan buruk Marsel pada mereka.
"Gimana Ana? Semuanya baik-baik saja kan? Anak nakal itu tidak berbuat ulah kan selama kami enggak ada di rumah?"
Di saat beginilah Alana akan langsung memasang topeng tebalnya. Gadis itu menyengir lebar, memamerkan deretan gigi putihnya yang rapi lalu menggeleng kecil. "Aman kok Om."
Pecundang. Gadis itu penakut. Ia biarkan rasa takut itu menyengsarakan dirinya sendiri. Tersesat semakin jauh digelapnya ruangan tanpa penerangan, entah kapan akan Alana temukan jalan keluar dari labirin tersebut.
"Kantung mata kamu kok agak beda begitu nak? Tadi malam kamu begadang atau habis nangis?" Guratan khawatir di wajah Jarwo tak dapat ia sembunyikan. Pria paruh baya itu sekarang sedang berdiri di belakang kursi kerja majikannya, memijatkan kedua pundak Damar.

KAMU SEDANG MEMBACA
MARSELANA
Teen FictionTinggal satu atap dengan anak tunggal dari majikan kedua orang tuanya membuat Alana seperti terbunuh setiap hari karena mulut pedas serta kelakuan bajingan yang Marsel miliki. Laki-laki problematik yang berusia satu tahun di atasnya itu adalah soso...