24. Terbit berpijak pecah | bagian dua

94 6 12
                                    

Dinding putih menemani sunyi Seokjin.

Wajah Seokjin sedikit kuyu untuk dua hari. Yang dilakukannya hanya terduduk di sebelah ranjang---menungggu gadis yang kini terbaring kembali sadar. Ae-ri dihadang syok berat setelah kejadian kemarin pagi, kehilangan kesadaran dan mengalami demam tinggi hingga sekarang. Dokter mengatakan setidaknya demamnya tidak setinggi kemarin dan akan segera membaik sebab hanya membutuhkan istirahat. Tetapi Seokjin tetap cemas untuk berpikir demikian.

Ae-ri belum sepenuhnya sadar.
Itulah yang menjadi masalah.

Seokjin hanya dapati gadis itu meringis dalam demamnya dan kembali terlelap untuk waktu yang lama.

Membenarkan selimut yang meringkus Ae-ri, ia lantas meremat pergelangan tangan itu dengan pelan, perhatikan wajah polos Ae-ri yang tersorot sinar lampu; cerah dan tenang. Agak menyebalkan melihat Ae-ri sakit seperti ini. Dan untuk satu alasan ia merindukan alis itu menukik tajam padanya dalam beberapa hal. Bahkan sekedar sorot matanya saja.

Selama nyaris setahun tinggal bersama, Ae-ri lebih banyak mengomel padanya dibandingkan ibu. Entah bagaimana bisa dirinya mengira gadis cerewet ini adalah gadis yang kalem dan tak banyak bicara. Terkadang pekerjaannya sebagian besar adalah meladeni ocehan Ae-ri. Bahkan di pagi hari usul mengusul siapa yang cuci piring menjadi perebutan panjang. Lalu di malam hari, saat Ae-ri menyalakan televisi untuk menonton drama kesukaannya, acapkali Seokjin hafal dengan seluruh cerita dan pemain yang bahkan hanya dua kali ditonton episodenya bersama-sama, sebab pagi harinya Ae-ri selalu menyodorkan review episode terbaru padanya.

Tetapi yang paling menyenangkan ialah ketika keduanya larut pada topik buku yang habis dilahap dalam dua hari. Atau pada hidangan yang baru saja dicoba dibuat di rumah. Seperti saat keduanya mencoba membuat dalgona yang tengah trending. Berakhir lengan kebas dan menyerah gunakan milk frother untuk mengaduknya sembari mendengar komentar panjang Ae-ri---seperti: Untuk apa diaduk hingga tangan akan patah tapi ujung-ujungnya hanya akan dicampur? Kenapa tidak sedari awal saja? Apakah orang-orang suka sekali mempersulit diri sendiri?

Seokjin ketika itu hanya terkekeh menimpali. Ae-ri memang akan selalu menjadi si cerewet yang menyenangkan.

Maka sudah dibilang. Menyebalkan melihat cerewet ini tertidur pucat begini.

Seokjin ingat ketika berpamitan meninggalkan panti kemarin. Dirinya tidak sempat mengucapkan terimakasih karena kehadirannya merepotkan. Apalagi untuk beberapa kekacauan yang terjadi. Tetapi Bibi Lim tetaplah Bibi Lim yang selalu baik. Seperti selepas mengetahui kondisi Ae-ri yang memburuk, pagi tadi bahkan beliau jauh-jauh menjenguk namun yang dijenguk tak kunjung membaik juga. Seokjin menjelaskan bahwa tidak ada yang serius. Bibi Lim mengangguk paham. Beliau lantas bermitan karena tidak dapat meninggalkan anak-anak panti lebih lagi. Seokjin maklum dengan hal tersebut.

Ae-ri barangkali akan sungkan jika sudah sadar.

Kemudian sesaat berlalu dalam lamunan—Seokjin cepat menyadari ketika ada pergerakan yang tercipta, buru-buru memposisikan diri demi sigap memastikan.

"J--jangan."

Jika tidak halusinasi, barusan Ae-ri berbicara. Sejemang kemudian, gadis didepannya mendadak terisak, bahkan susul menyusul dengan air mata yang lolos.

"Ae-ri? Ada apa?" Seokjin bertanya gamang. Mengusap pipi yang kemudian basah di sana. "Apa kamu merasa sakit? Di mana? Coba katakan!"

Ae-ri pelan membuka matanya sayu dalam genangan kaca yang tercipta, menatap dirinya dengan sedikit kejutan yang terluka, lantas gemetar meraih sisi wajahnya; tangannya terasa panas sekali.

Sepertinya sekarang Ae-ri mengingau, lagi.

"A--apakah ini nyata? Jung, kamu baik-baik saja?"

Seokjin membisu tanpa tahu apa yang akan dilakukan. Ada duri kecil yang menusuk dalam ketika Ae-ri menatapnya terluka dengan banyaknya air mata yang keluar. Apakah kini Ae-ri berhalusinasi jika dirinya adalah Jungkook? Padahal kantung matanya sudah jelas menghitam. Bagaimana bisa bahkan dalam sakitnya pun hanya adiknya saja yang diingat?

Endings, Beginnings.Where stories live. Discover now