21. Sesal

12.5K 778 11
                                    

Kapan terakhir kali Adeen merasa sepanik ini? Kapan terakhir kali keringatnya mengucur lebih deras ketimbang saat dirinya menghabiskan waktu di gym. Ah, respon tubuh memang selalu sinkron dengan hati. Logika boleh mengelabuhi. Namun tak ada yang bisa disembunyikan saat hati ikut serta dalam permainan kehidupan.

Adeen yang dikenal seorang profesional dalam menyembunyikan perasaan. Malam itu. Di bawah candeliar megah dirinya dibuat takluk.

Semuanya asli. Kekhawatirannya ketika membopong tubuh lemas Ayu. Memecah kerumunan orang yang menyimpan tanya dalam benak.

"Umh... sakit," rintih Ayu. Dia mengernyit. Menahan sakit sambil memegangi perut.

Adeen melebarkan langkah. Kerut di keningnya ikut menyumbangkan kesan panik. Berusaha tenang pun tidak bisa. Pikiran Adeen sekarat. Rasa sesalnya membuncah hebat. Seharusnya ia tidak meninggalkannya tadi. Lengah sedikit, Ayu sudah ditarik ibu-ibu sosialita.

"Tck! Sial!" decak Adeen. Menyumpahi dirinya sendiri. Janjinya untuk melindungi Ayu ternyata berbuah masam. Pada akhirnya seperti ini.

"Sakit Mas... sakit...." Ayu merengek. Bulir bening mulai kentara di mata terpejam itu.

"Kita segera ke rumah sakit terdekat," ungkap Adeen. Langkahnya semakin cepat. Menembus lantai paling atas. Landasan helipad.

Adeen merogoh saku. Ia dial nomor seseorang.

"Hallo Ed, berangkat ke landasan helipad hotel horizon Ritz. Segera!"

Macet sudah pasti. Ini libur akhirt pekan. Jalanan ramai oleh orang-orang. Apalagi tadi Adeen lihat ada event besar-besaran. Adeen tak mau mengambil resiko terhambat di jalan. Hanya jalan langitlah satu-satunya cara.

Gelegar suara mesin terbang itu mengisi langit malam. Baling-balingnya mampu memecah arah mata angin. Memporak-porandakan debu. Adeen buru-buru memasuki helikopter pribadinya. Persetan dengan acara. Kesembuhan Ayu adalah prioritas!

Pilot bernama Edward itu mengumumkan lokasi tujuan. Pun standar keamanan. Setelahnya, ia menerbangkan helikopter itu ke rumah sakit tujuan.

****

Malam ini cantik. Bintang bersinar terang. Bulan purnama mentereng di atas sana. Seolah mata yang mengawasi para penghuni dunia. Malam yang cerah untuk bersenda gurau. Pun menghabiskan waktu bersama keluarga. Atau bersantai.

Ah, sayangnya semua itu tidak terealisasi dengan baik. Yah, Adeen cukup sadar diri untuk tidak menyalahkan Ayu. Ini murni kelalaiannya.

Sunyi. Hanya detak jam mengisi ruang VVIP itu. Di mana ocehan Ayu yang biasa? Di mana aksi randomnya yang menyebalkan? Hah, sudah begini baru terasa kehilangan.

Ditatapnya mata terpejam itu. Selang infus menyatu dengan kulit. Dadanya bergerak halus. Satu jam lalu dokter melakukan tindakan. Membuahkan diagnosis awal.

Magh kronis. Begitulah.

"Aku tidak sepelit itu sampai tidak memberi mu makan. Aku juga tidak serumit itu sampai membuat mu tertekan."

"Ayu...."

"Apa selama ini kau tertekan bersama ku?" Adeen terkekeh miris. "Ah, benar juga. Aku menuntut Ayu datang ke acara yang tidak dia sukai." Adeen mengusap kasar wajahnya. Tunduknya semakin dalam. Tugas kampus saja sudah membebankannya. Ditambah tuntutan sebagai istri. Walau Adeen tak meminta Ayu untuk masak. Ayu tetap menjalankan kewajiban itu. Ia terus berpegang teguh atas janjinya pada Mama.

"Ya Tuhan. Apa yang sudah kulakukan?!" Helaan nafas terdengar lelah. Getar handphone di saku celana berulangkali terasa. Namun tangannya enggan menggapai.

Menolak Jadi JandaWhere stories live. Discover now