Curang!

7 1 0
                                    

"Ren!" Seseorang memanggilku dari pintu. Aku tersadar dari lamunanku dan berjalan menuju pintu. "Ya?" jawabku sambil membukanya. Di sana berdiri Tante dengan payung dan handuk di tangannya.

"Selamat pagi, cantik!" sapanya dengan senyum hangat.

"Selamat pagi juga, Tante. Ada apa?" tanyaku.

"Sebentar lagi hujan. Ini, bawa payung dan handuk ini," katanya sambil memberikannya padaku.

"Terima kasih, Tante," jawabku mengambil payung dan handuk itu.

"Sarapan kamu sudah siap, dan baju kamu sudah Tante simpan di lemari ya!"

"Kenapa nggak dibawa ke sini aja, Tan?"

"Belum disetrika, soalnya arangnya belum ada," jawabnya.

Aku melotot. "Arang?" tanyaku bingung.

"Iya, buat nyetrika," jawabnya dengan tenang.

Aku berpikir sejenak. "Emangnya bisa nyetrika pakai arang?" tanyaku lagi.

"Bisa atuh. Kalau nyetrika mah harus pakai arang," katanya sambil tersenyum.

Aku tersadar. "Ini kan tahun 90-an, mana ada setrika listrik," gumamku.

"Ya sudah deh, Tan, aku mandi dulu!" kataku pamit.

"Oke, Tante pergi dulu ya, dadah!" katanya sambil melambaikan tangan.

"Dah!" jawabku sambil melambaikan tangan balik.

Setelah mandi, kupakai baju serba panjang dari Tante. Tante sangat perhatian padaku. Mengenai rok yang kusobek kemarin, aku minta bantuan Delisah untuk menjahitkannya. Aku masih menyembunyikan barang-barang pribadiku dari masa depan di laci meja kamar.

Aku siap-siap dan berjalan menuju rumah Tante di seberang jalan dengan payung di tangan. Hujan turun membasahi tanaman di halaman. Sampai di sana, aku langsung disambut dan duduk di meja makan.

"Sayang, jangan lupa bawa jaket ya!" nasehat Tante pada Arif yang selesai sarapan.

"Iya, Ma," jawab Arif sambil tersenyum.

"Kamu ke sekolah pakai sepeda?" tanya Tante sambil membereskan piring di meja.

"Iya, Ma. Emangnya kenapa?" jawab Arif.

"Lagi hujan deras tuh di luar. Kamu naik angkutan umum aja ya," kata Tante.

Arif tampak murung, mungkin tidak suka naik angkutan umum.

"Biar aku aja yang antar Arif," usulku. Mereka berdua melirikku.

"Sama aja, nanti basah," kata Tante. "Lagian kamu mau antar dia pake apa?"

"Pakai motor, Tan," jawabku. "Kan bisa pakai mantel."

"Emang kamu bisa bawa Arif?"

"Bisa dong, Tan," jawabku yakin.

"Ya sudah, tapi hati-hati ya!" nasehat Tante.

"Iya, Tan," jawabku. Aku berdiri. "Yuk!"

"Yuk." Arif berdiri dan menyalam Tante, begitu juga aku. Kami berjalan ke depan untuk memakai mantel hujan. Aku menyalakan motor dan suara bising langsung terdengar. Motor disimpan di garasi rumah Arif.

Sebenarnya keluarga Arif punya mobil, tapi katanya masih dipinjam orang tua Delisah. Pantesan Delisah sering makan di sini.

***

Hujan deras mengguyur kota saat aku dan Arif melaju di jalan dengan mantel plastik hijau. Sensasi dingin dan menyenangkan mengiringi perjalanan kami. Meski motor yang kugunakan terkesan jadul, aku menikmatinya. Mungkin di masa depan, motor ini sudah menjadi barang antik.

Ternyata Pacarku Pamanku SendiriWhere stories live. Discover now