☔21. Keputusan Tepat

15 5 0
                                    

Hanya manusia yang tidak luput dari typo. Tandai jika ada.

 Tandai jika ada

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

☔☔☔

Aku membuka mataku secara perlahan. Tahu-tahu aku sudah ada di sebuah ruangan berwarna putih dengan posisi terbaring juga berbalut selimut berwarna biru cerah. Aku mencoba duduk, tetapi badanku lemas sekali rasanya.

Pintu tiba-tiba terbuka, seseorang muncul dari balik pintu itu. Siapa lagi kalau bukan Vallea. "Ri ...." Dia berjalan mendekat padaku yang berbaring. "Kamu kenapa, sih, Ri? Kamu tadi pingsan di lorong. Pas aku dateng nggak ada siapa-siapa," jelas Vallea. Aku mengingat-ingat kejadian tadi. Teringat jelas saat Rian meninggalkanku. Setelah itu, aku tak ingat apa pun dan berakhir di sini.

Aku kemudian menangis secara tiba-tiba jika teringat kejadian tadi. Jadi ... Rian benar-benar pergi? "Ri? Kok, nangis? Cerita sama aku, kamu kenapa?" tanya Vallea yang terlihat panik.

"Vall ... Rian pergi." Aku menangis sejadi-jadinya.

"Iya, tahu. Pindah ke kantor lamanya, kan? Toh, kalian cuma beda kantor," ucap Vallea enteng karena belum tahu yang sebenarnya.

"Enggak, Vall. Dia pindah ke Amerika. Dia milih udahan tadi. Dia ... dia pilih akhirin hubungan kami." Aku tak bisa menahan air mataku. Tubuhku malah semakin lemas ketika menceritakan semuanya. Sedangkan Vallea? Hanya langsung diam. Mungkin dia juga tak percaya, sama sepertiku. Rian, asal kamu tahu, aku masih berharap ini hanya mimpi. Ketika aku bangun, Rian ada di sampingku. Namun, ini nyata. Rian benar-benar pergi tanpa kejelasan.

"Sabar, ya, Ri ...." Vallea memelukku yang masih menangis sesenggukan.

...

Tiga bulan berlalu setelah ditinggalkan oleh Rian, apa kalian kira aku baik-baik saja? Jawabannya tentu tidak. Aku resign dari kantor setelah tiga hari masuk. Menurutku, percuma saja bekerja di sana jika pikiranku terus ada pada Rian. Aku memutuskan untuk mencari pekerjaan baru. Bila perlu, harus jauh dari kota ini agar aku bisa melupakan tiap sudut kota yang pernah aku datangi bersama Rian.

Katanya, cinta itu tahu ke mana ia akan pulang, cinta akan pulang ke orang yang tepat. Nyatanya, kenapa cinta Rian tak kunjung pulang padaku? Apa aku bukanlah rumah bagi cintanya?

Hari ini, aku memutuskan pindah. Iya, aku menjual rumahku. Rumah yang dulunya dilunasi oleh Rian. Sampai sekarang pun uang itu belum aku ganti, malah orangnya sudah pergi. Tak apa, mungkin lain waktu saja.

Tempo hari aku menemukan lowongan pekerjaan di perusahaan wedding organizer yang letaknya cukup jauh dari kota ini. Hanya iseng mendaftar, ternyata diterima. Tak apalah, walaupun gajinya lebih kecil, setidaknya itu cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupku. Setidaknya juga di tempat baru aku bisa mulai belajar melupakan Rian.

Jangan kira aku tak mencarinya. Sehari setelah Rian pergi, aku terus-terusan menghubunginya. Namun, nomor WhatsApp-nya terakhirnya dilihat di jam yang sama saat ia pergi, siang itu. Aku nekat datang ke rumahnya, tetapi yang kutemui hanyalah Rashi yang tak tahu Rian ke mana. Ya, Rian benar-benar sudah pergi tanpa kejelasan. Aku saat itu bingung, stres, hingga hilang fokus saat meeting.

Tiga bulan aku menganggur, jarang makan dan mandi, bahkan terlalu sering melamun. Namun, akhirnya aku sadar. Hidupku harus terus berlanjut, dengan atau tanpa Rian sekali pun.

Pagi ini aku sudah mengemasi barang-barangku. Dengan membawa tabungan secukupnya karena rumah pun belum laku terjual. Aku hanya menitipkan kuncinya pada Vallea dan menaruh papan bertuliskan 'rumah ini dijual' di depan rumah. Tak apa, toh pihak perusahaan menyiapkan asrama untuk karyawan-karyawan baru nantinya. Setelah ada yang membeli rumah ini, aku akan mulai mencicil rumah lagi di kota yang baru.

Sekarang aku menunggu Vallea dan Haris yang katanya mau datang mengantarku ke terminal. Vallea sangat sedih saat aku menceritakan rencana pindah ini. Aku pun sedih harus meninggalkan Vallea, terlebih lagi ia sudah seperti keluarga bagiku. Namun, apa boleh buat? Kata Vallea, jika itu membuatku lebih baik dari sebelumnya, akan ia dukung.

Tak lama kemudian, Vallea dan Haris pun tiba. Vallea langsung turun dan menghampiriku. "Kamu yakin, Ri?" tanyanya. Itu adalah pertanyaan yang selalu dia ulang saat bertemu. Sampai bosan aku mendengarnya. Aku mengangguk dengan yakin, membuat wajah Vallea sedih.

"Jangan sedih, dong. Kalau libur nanti aku ke sini lagi, kok." Aku berusaha menenangkan Vallea. Toh, dia punya Haris yang akan selalu menjaganya. Haris kemudian ikut turun menyusul Vallea. Dia membantu memasukkan koper dan tasku ke dalam mobilnya. "Makasih, Ris," ucapku pada Haris. "Udah, yuk, keburu ketinggalan bus nanti aku, Vall."

Kami kemudian berjalan memasuki mobil dan segera meluncur ke terminal. Terminalnya memang agak jauh, untung masih pagi, jadi meminimalisir macet.

Tak lama kemudian, kami sampai di terminal. Mungkin sekitar dua puluh menit. Bus yang akan kunaiki ternyata sudah memanaskan mesin dan siap-siap akan berangkat. Melihat itu, aku buru-buru berpamitan dengan Vallea. "Vall, aku pamit, ya. Jaga diri baik-baik. Kalau kalian nikah nanti jangan lupa kabarin aku, ya?"

Vallea terlihat menangis dan langsung memelukku. "Kamu yang harusnya hati-hati dan jaga diri di sana, Ri. Kamu di sana tinggal sendiri, loh. Kalau ada apa-apa langsung kabarin aku, ya?"

"Pasti," jawabku dengan cepat.

"Aku bantuin angkat koper dan tasnya ke dalem bus, ya, Ri," tawar Haris. Aku segera mengentikan tindakannya itu.

"Nggak usah, aku sendiri aja. Kalian udah banyak bantu aku. Makasih, ya. Aku pamit." Aku segera turun dari mobil dan menurunkan tas serta koperku dari bagasi mobil. Sudah agak jauh, aku menoleh ke belakang untuk melambaikan tangan pada Haris dan Vallea. Aku harap ini keputusan tepat untuk hidupku ke depannya.

Dengan yakin aku berjalan memasuki bus. Terlihat mobil Haris pun sudah tidak ada. Pasti mereka buru-buru pergi kerja. Busnya cukup nyaman. Aku duduk sendiri di kursi nomor dua. Bus mulai berjalan tak lama setelah aku masuk. Untung saja aku tepat waktu. Jika tidak, aku harus menunggu bus dengan jurusan yang sama di minggu depan.

Aku melihat ke luar jendela. Di mana terlihat jelas bus menjauhi kota ini. Kota di mana aku dilahirkan, mencari pendidikan, hingga pekerjaan. Kota di mana tiap sudutnya aku kunjungi dengan orang yang pergi menghilang tanpa alasan. Detik ini, aku melepaskan semuanya. Segala rasa sesal, rasa bersalah, rasa sedih, dan kehilangan. Biarlah itu semua tertinggal di kota ini. Aku tak akan membawa kesedihan itu di tempat baru nanti.

Rian, melupakanmu ternyata sesakit ini, ya? Bahkan, gerimis di luar jendela seakan ikut berduka melihatku yang berusaha memusnahkanmu dari pikiran. Janji yang kamu ucapkan di taman kota malam itu, membekas di hatiku. Aku akan melupakanmu, sungguh. Aku berjanji.

Selamat tinggal, Rian Kusuma Mahendra, manusia yang terlebih dulu meninggalkanku tanpa kejelasan.

☔☔☔

☔☔☔

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Hujan di Januari [TERBIT] ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang