🥂1.7k vote and 1k comments for next chapter🥂
34. PENIPU HANDAL
Bukan gue yang jahat tapi dianya yang bego. Makanya gampang buat dibego-begoin.
—Marselino Raygan Bumantara
***
Sekolah diliburkan satu hari tanpa alasan yang jelas. Kepala sekolah tiba-tiba saja mengumumkan hal penting tersebut lewat grup angkatan pukul sepuluh malam tadi. Tentu saja semua murid bersorak girang bukan main di kediamannya masing-masing.
Sebab mereka tidak harus tergesa-gesa untuk bangun dari tidurnya yang nyenyak, kemudian berbondong-bondong berbaris rapi di lapangan luas smansa sampai melupakan sarapan pagi, melaksanakan kewajibannya sebagai pelajar dengan cara berjemur di bawah panasnya sinar matahari lalu hormat kepada tiang bendera, ah tepatnya pada sang pusaka merah putih.
Pada sore harinya sekitar pukul setengah empat, kala langit terlihat begitu mendung sebab sang awan kini berkumpul, menyatu, bagai membentuk sebuah kekuatan besar guna mencegah air hujan yang berontak ingin merintik membasahi bumi.
Seorang perempuan berkulit putih yang punya rambut sebahu berwarna hitam pekat terlihat sangat menikmati makanan kesukaannya, brownies cokelat dengan toping taburan keju parut di atasnya. Suapan demi suapan masuk ke dalam mulut Alana, hingga tidak terasa, brownies yang beberapa waktu lalu dia temukan di dalam kulkas kini tinggal setengah.
"ALANAAAA!"
Makanan di dalam mulut Alana sedikit muncrat keluar mendengar teriakan menggelegar milik Ajeng. Alana mendengus, mentang-mentang Damar dan Jihan belum pulang ke rumah Ibunya jadi bisa leluasa begini mengeluarkan kodamnya.
Ajeng seret langkahnya menghampiri Alana di meja makan. Wajahnya berubah pucat dan tegang melihat makanan di meja hanya sisa separuh, Ajeng tatap garang putri semata wayang kesayangannya tepat di kedua bola matanya yang berwarna indah.
Kunyahan Alana seketika terhenti, merasa ngeri ia melihat tatapan Ajeng yang biasanya lembut sekarang berubah tajam untuk pertama kalinya. "Ke—kenapa Bu? Ada apa?"
"Duh gustiii." Ajeng usap kasar peluh di pelipisnya. Dia guncang bahu Alana hingga gadis itu melotot kaget. "Kenapa brownies Marsel kamu makan?!"
Deg
Dalam seperkian detik Alana rasa nyawanya baru saja dicabut lewat ubun-ubun. Potongan brownies kecil di tangannya jatuh ke lantai sebab seluruh anggota tubuhnya melemas mendengar kalimat apa yang baru saja keluar dari bibir Ajeng, mulutnya terbuka dan matanya membelalak seperti hendak melompat keluar dari sangkarnya.
"I—ibu serius?" tanya Alana tercekat.
"Kamu pikir Ibu pernah bercanda dengan ekspresi seperti ini?" Ajeng tunjuk wajahnya sendiri dengan tangan bergetar.
Alana telan paksa sisa-sisa brownies dalam mulutnya. "Terus gimana Bu? Udah Alana makan separuh. Alana kira gak ada yang mau makan karena udah dua hari Alana lihat di dalam kulkas."
"Kok malah tanya 'gimana' sih nak? Tanggung jawab seperti yang selalu bapak kamu ajarkan, bilang sama Marsel kesalahan kamu, bawakan ke kamarnya terus minta maaf sambil kasih lihat sisanya."
Yang benar saja! Sama saja Alana mengantarkan nyawanya secara suka rela kalau begitu. Tidak tidak! Alana tak akan berani memberi tahu Marsel. Nyalinya untuk membuka mulut saja rasanya tidak ada. Trauma Alana belum hilang tapi sudah disuruh berhadapan lagi dengan Marsel, bisa-bisa mati berdiri dia.

KAMU SEDANG MEMBACA
MARSELANA
Teen FictionTinggal satu atap dengan anak tunggal dari majikan kedua orang tuanya membuat Alana seperti terbunuh setiap hari karena mulut pedas serta kelakuan bajingan yang Marsel miliki. Laki-laki problematik yang berusia satu tahun di atasnya itu adalah soso...