Bab 5. meminta uang

1K 108 18
                                    

BAB 5. MEMINTA UANG.

Aku memilih untuk duduk sejenak setelah pertengkaran kami. Sisa bedak itu masih ada di lantai, aku menghela nafas. Harusnya aku bersyukur ya jika Fitri mau mencoba berdandan lagi, kenapa aku harus termakan ucapan Putri sih, benar-benar sialan. Bodoh banget sih segala percaya dan akhirnya bertengkar tidak penting beginikan?

Aku mengacak rambutku karena kesal, aku harus segera meminta maaf pada Fitri. Gegas aku bangun dari duduk, merapihkan sedikit pakaianku dan keluar kamar untuk mencari sosok istriku. Terdengar suara anak-anak dalam kamar, aku pun ke sana, mengetuk lalu membuka pintunya dan mendapati kamar bagai kapal pecah. Sementara Fitri masih menyusui Fikram. "Ya Allah, kok sampai berantakan begini sih?" tanyaku yang marah tapi tetap menekan intonasi suara.

Aliyah dan Dimas langsung berhenti mengoceh serta perang boneka. Mereka menatapku kecuali Fitri. "Ih, Ayah bikin kaget aja sih!" protes Aliyah yang kembali meraih boneka di bawah kakinya, Dimas bersiap-siap menahan serangan.

"Mah, kamu biarkan saja anakmu bikin kacau kamar? kok bisa sih kamu diam saja melihat kekacauan ini?" Akhirnya aku tidak tahan untuk tidak mengomel.

"Ih Ayah apa sih, kok Mama yang disalahin, kan kita yang bikin berantakan," protes putriku lagi.

"Iya, Ayah ...." Dimas menambahi.

Aku menghela nafas dan meminta istriku untuk keluar karena ingin bicara dengannya. Ia pun bangun tanpa banyak kata, menyudahi kegiatannya menyusui anak kami yang ketiga. "Kalian bereskan mainannya ya, Mama mau bicara dulu dengan Ayah." Keduanya mengangguk walau tidak langsung dikerjakan sebab mereka segera perang boneka lagi setelah kepergian dua orang tuanya. Aku benar-benar tak habis pikir dengan mereka.

Di ruang tengah aku duduk di susul Fitri. "Duduk, jangan berdiri begitu." Ia pun menurut. "Kamu kenapa sih, nggak bisa mendidik anak untuk tidak mengacaukan rumah?" Ah, padahal awalnya aku mau minta maaf tapi kenapa malah jadi bahas soal anak sih?

"Maaf."

"Nggak bisa apa ya kamu bicara lain selain maaf?" Aku makin kesal saja, niatku kan diskusi tapi bagaimana mau memecahkan masalah kalau hanya dijawab maaf?

"Aku bicarapun kamu tidak mau mendengarkan, tidak percaya, lalu untuk apa?"

Eh, di bisa jawab cukup panjang juga. "Memang kamu pernah bahas soal anak, kamu itu sibuk dengan Fikram saja, ke mana-mana gendong Fikram, rasanya jarang aku lihat ia lepas dari gendonganmu, anak jangan terlalu dimanja begitu, nanti sulit lepas darimu baru tahu rasa."

Fitri nampak menghela nafas, lalu melepas gendongan Fikram, ia serahkan bocah berusia 6 bulan itu padaku. Aku bingung tapi tetap aku terima dan pangku dengan baik. Seketika ia berontak dan hendak turun, bahkan mulai merengek lalu menangis kencang. Seolah aku ini orang asing baginya. "Kamu ngajarin apa sih ke Fikram kok ke Ayahnya kaya nggak kenal gini?" Aku coba menahan tubuh kecil itu agar tetap mau dalam pangkuanku, tapi semakin keras usahaku tangisnya semakin menjadi.

"Karena dia punya hati dan perasaan, ia tahu mana yang sayang dan tidak padanya."

Mendengar itu tentu saja aku emosi. "Loh, maksudmu apa ngomong gitu, aku nggak sayang sama Fikram? Eh popok dan lainnya siapa yang beli kalau bukan pakai uangku, cara bicaramu itu sangat menyakiti hatiku, Fikram itu anakku mana mungkin aku tidak sayang padanya. Ngaco kamu!" bentakku kesal.

"Kalau begitu mulai sekarang uruslah dia, bermain dengannya, jangan semua diserahkan padaku."

"Bayi itu memang harusnya dekat dengan Ibunya, kalau sudah besar seperti Dimas dan Aliyah baru bisa dekat dengan Bapaknya, karena mereka sudah punya nalar dan mengerti ucapanku atau perintahku. Tapi, Fikram belum paham jadi untuk apa berinteraksi dengannya, hanya membuatku lelah saja."

ISTRIKU TIDAK MENARIK LAGIWhere stories live. Discover now