14. If i lost my serendipity

121 24 8
                                    

***

Bagaimana jadinya, jika aku mati di tanganku sendiri?

Bagaimana jadinya, jika mereka kehilanganku?

Begini, aku sudah paham apa itu arti kehilangan. Di mana sesuatu yang berbinar dalam hidupku, tiba-tiba kandas begitu saja. Aku sudah kehilangan banyak hal. Kehilangan kasih, kehilangan reputasi, kehilangan nama baik, kehilangan semua temanku. Dan yang paling menyakitkan, aku sudah kehilangan dirinya. Hiraeth Sandewa, pemuda yang dulu sangat aku agungkan, sekarang menjadi Hiraeth yang berbeda.

Tatap matanya terhadapku sudah tak sama. Biasanya, kita akan tergelak bak orang bodoh, kala mendengar lawakan yang sebenarnya tidak lucu. Hiraeth yang akan menenangkanku saat aku menangis, saat aku terluka. Biasanya, kita akan berbagi kisah bersama-sama. Biasanya, kita akan selalu menghabiskan waktu bersama.

Semua afeksi yang dia lakukan, cukup untuk membuatku jatuh kepadanya.

Dan sekarang, semua itu resmi kandas. Aku sudah kehilangan sosok Hiraeth Sandewa. I lost my serendipity.

***

15 April 2015.

Raline menatap hamparan sungai yang arusnya tenang. Ia duduk sendirian di sini, di pinggir sungai. Dengan binar mata kosong, memikirkan berbagai kemungkikan terburuk hidupnya.

Ia memutuskan pergi dari apartemen untuk sementara waktu. Walaupun, seorang gadis berusia 9 tahun sepertinya, jelas tak memiliki tujuan tetap. Jadinya ia hanya berdiam diri di pinggir sungai. Merenung, hingga sesekali menangis.

Orangtuanya selalu berdebat setiap waktu. Apartemennya berisik, juga kacau. Satu bulan semenjak kakaknya meninggal dunia, keadaan keluarganya berubah drastis. Kakaknya, satu-satunya sumber kebahagiaan keluarganya sudah hilang. Menyisakan dirinya, yang dianggap sebagai pembawa sial oleh keluarganya.

Semenjak umur 9 tahun, hidup Raline sudah jauh dari kata mulus. Raline juga mendengar orang-orang dewasa mengatakan, bahwa kehidupan sesudah remaja, jauh lebih menyakitkan. Raline takut sendiri mendengarnya. Begini, fase anak-anak miliknya saja sudah menyeramkan, apalagi fase dewasa?

"Aku nggak mau jadi dewasa...." lirihnya pelan, kepada angin yang berembus damai.

Semoga hidupnya berhenti pada fase remaja.

"Loh, kenapa?"

Raline terlonjak kaget. Bocah itu menengok ke kanan dan ke kiri, mencari sumber suara barusan. Suaranya terdengar seperti bocah lelaki. Hingga ia mendengar suara itu terkekeh. Ah, arahnya dari belakang! Raline lantas menengok ke belakang. Dan ia dapati bocah lelaki dengan setelan kasual, sedang terkekeh ke arahnya.

"Kaget tau...." Raline mengelus dadanya dramatis, mengisyaratkan dirinya sangat terkejut. Lantas, bocah lelaki itu melontarkan kata 'maaf' yang terdengar tidak tulus.

"Kenapa?" tanya bocah lelaki itu.

Raline mengernyit tidak paham, "Kenapa apanya?"

"Kenapa kamu nggak mau jadi dewasa? Jadi dewasa kan seru! Kamu bisa jalan ke mana-mana sendirian, kamu bisa dapet kerja, dan akhirnya udah nggak sekolah!"

Bocah lelaki itu berseru antusias. Mendeskripsikan fase dewasa dengan sangat menyenangkan. Yang mana, realita kontra akan hal tersebut.

If I Lost My Serendipity | Jangkku ✦˚٭Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang