06. Orang-Orang Misterius

15 3 0
                                    

Aku membuka pintu ruang dekan, di sana sudah ada Pak Bardi dan seorang laki-laki berseragam polisi. Mereka langsung mengarahkan pandangannya padaku, seolah aku merupakan tersangka dalam suatu kasus kriminal. Namun, aku berusaha meyakinkan diriku bahwa aku tak melakukan kesalahan apapun dan tetap bersikap tenang.

"Silakan duduk, Deka."

Aku mengangguk, lalu melepaskan tas ranselku dan mengambil posisi duduk di salah satu sofa yang jaraknya agak jauh dari si petugas polisi bertubuh tinggi dan tegap yang duduk begitu dekat dengan Pak Bardi. Kedua orang ini menatapku lekat-lekat, seolah sedang memerhatikan gerak-gerikku.

"Mohon maaf, Pak. Saya belum tahu kenapa saya dipanggil ke sini," ujarku karena kedua orang ini tak kunjung membuka suara meski aku sudah sepenuhnya duduk di hadapan mereka.

"Oh, ya ampun. Perkenalkan, saya Harianto. Petugas kepolisian dari Polsek Jakarta Timur," ujarnya memperkenalkan diri. Aku sedikit mengerutkan keningku agak ragu dengannya. Karena, caranya memperkenalkan diri sebagai polisi terdengar aneh.

"Saya, Deka. Saya dengar Anda mencari saya?" tanyaku langsung pada intinya saja.

Petugas polisi bernama Harianto itu tak langsung menjawab, dia malah menoleh ke arah Pak Bardi seolah mengisyaratkan sesuatu padanya. Mungkin meminta Pak Bardi untuk menjelaskan sesuatu padaku terlebih dahulu.

"Deka, bisa kamu jelaskan di mana kamu tadi malam?" tanya Pak Bardi. Seketika itu juga aku tahu, kemana arah pembicaraan mereka. Meski aku mengelak, pasti polisi ini sudah memiliki bukti bahwa aku berada di sekitar gedung itu.

"Saya berniat kabur dari ibu kos saya, jadi malam itu diam-diam saya pergi keluar tak tentu arah sampai ibu kos tertidur. Memangnya ada apa, Pak?"

"Apa kamu pergi ke gedung terbengkalai di belakang kampus?" tanya Pak Bardi sekali lagi. Ah, pertanyaan yang sudah kuduga sebelumnya. Sekali lagi, aku tidak mungkin mengelak, karena jika satu kali aku ketahuan berbohong, semua yang kukatakan pun akan sia-sia. Namun, haruskah aku menceritakan saja apa yang sebenarnya terjadi tadi malam di gedung itu agar aku tidak dituduh menjadi salah satu bagian dari mereka?

"Gedung bekas kebakaran itu?" tanyaku mengulur waktu. dan keduanya langsung mengangguk.

"Saya memang melewati gedung itu, dan motor saya tiba-tiba mati mesin di sana."

"Hanya itu yang kamu lakukan?" tanya Harianto masih melemparkan pandangan penuh selidik ke arahku.

Aku tak langsung menjawab, karena aku masih menerka-nerka sebenarnya apa yang berusaha mereka utarakan padaku. Aku harus sangat berhati-hati, karena ini menyangkut kasus pembantaian, dan sindikat psikopat.

"Saya mendapatkan laporan dari salah satu warga setempat, bahwa tadi malam, mereka mendengar suara teriakan yang sangat keras dari gedung itu. Lalu, saat kami memeriksa ke sana, hanya ada noda-noda darah yang menggambarkan sebuah tragedi mengerikan di sana. Anehnya, kami tidak bisa menemukan mayat di sekitar gedung ..." Harianto menggantungkan kalimatnya dan meraih cangkir teh dengan tangan kanannya yang besar. Urat-uratnya terlihat bermunculan di punggung tangannya, dan kedua mataku tertuju pada jari-jari tangan petugas ini yang begitu kotor. Ada salah satu jarinya yang diperban, dan salah satu kelingkingnya yang memiliki luka seperti daging yang mulai mengering.

"... Dan seorang warga memberikan kesaksian bahwa Anda terlihat di sekitar gedung malam itu. Barangkali Anda mengetahui sesuatu tentang yang terjadi di gedung terbengkalai itu?"

Harianto menyereput tehnya, sementara kedua matanya yang gelap dengan rona merah mengelilingi bola matanya seperti seorang pecandu obat terlarang itu menatapku tajam. Seharusnya aku tahu, bahwa dia bukanlah polisi yang sesungguhnya. Mengingat percakapan dua pria berjubah yang mengikuti di gedung tadi malam, aku tahu laki-laki ini adalah bagian dari mereka. Jarinya terluka karena mendapat sebuah hukuman, dan ini terlalu jelas dilihat. Rupanya mereka tidak tahu kalau aku mendengar pembicaraan itu ketika bersembunyi.

CONTENTWhere stories live. Discover now