07. Teror

8 2 5
                                    

Gara-gara desakkan Anton, aku harus turun tangan membujuk Inggit untuk bergabung dengan tugas kelompok kami. Padahal, Anton tahu bahwa aku tidak bisa membujuk seseorang dengan baik, apalagi perempuan. Bahkan, aku tak pernah mengenal Inggit sebelumnya. Namun, demi kelangsungan tugas ini, aku harus berjibaku dengan anak-anak Seni Tari yang berisik.

Aku masih mencari-cari keberadaan Inggit seorang diri. Namun, perhatianku malah teralihkan pada sosok wanita yang berdiri di sudut ruang tari sambil menatapku. Perempuan setengah baya yang memakai gaun terusan berwarna hitam dan makeup tebal. Rambut hitamnya disanggul rapi seperti wanita Eropa kuno. Sorot matanya seolah mengikuti langkahku, dan itu membuatku tak nyaman.

“Sorry, ada yang lihat Inggit, gak?” tanyaku pada sekelompok mahasiswi yang berkumpul di sisi kaca dengan kaus mereka yang sedikit basah setelah berlatih tari.

“Inggit? Baru aja tadi dia pulang duluan."

“Gue ada perlu sama Inggit, ada yang punya nomor handphone-nya, gak?” tanyaku berusaha untuk tenang karena perempuan bersanggul itu masih memperhatikanku dengan intens.

“Sorry, kita gak bisa kali ngasih nomor orang sembarangan.”

Aku menahan napas, aku tahu gagasan itu benar. Sayangnya, mereka tak tahu bahwa keadaan kali ini agak mendesak. Sudahlah, aku tak ingin berurusan dengan orang-orang ini. Aku akan mencari tahunya sendiri.

Kupercepat langkahku keluar ruang seni tari, berniat untuk mencari Inggit atau nomor ponselnya. Sejujurnya, aku agak muak dengan tugas apapun yang berkelompok. Pasti ada saja anggota yang mengandalkan satu orang saja.

Langkahku refleks terhenti ketika aku melihat seorang pria berjubah hitam dengan topi fedora yang berdiri di dekat tangga sambil memperhatikanku dengan raut wajah datarnya.

Tubuhku membeku ketika laki-laki itu berjalan menghampiriku dengan kedua tangan yang ada di belakang punggungnya. Kepalaku tiba-tiba terasa pening, bersamaan dengan suara-suara wanita yang seolah berkumpul mengelilingiku mengucapkan satu kata yang sama berulang-ulang; LARI.

Aku memang ingin berlari, tetapi tubuhku seolah tak memiliki kekuatan sama sekali untuk melakukannya. Pandanganku kabur, dan aku melihat laki-laki itu berjalan menghampiriku dengan beberapa sosok perempuan yang memakai baju tidur terusan berwarna putih, serta kain yang menutupi kepala juga wajah mereka. Semuanya mengekori laki-laki itu seperti pengawal.

“Lari! Lari! Lari! Lari! Lari!”

Sungguh aku ingin berlari, tetapi kedua pundakku rasanya sangat berat, seperti ada sesuatu yang berdiri di atas pundakku. Para wanita yang mengenakan kain putih itu berteriak sangat keras hingga menusuk gendang telingaku. Beriringan dengan itu, mereka semua menerjangku secara bersamaan sehingga tubuhku ambruk ke lantai dengan keras.

Lidahku kelu, mulutku seolah lengket. Aku tidak bisa berteriak sama sekali, dan pandanganku mulai kabur saat seseorang memukul kepalaku sangat keras. Semuanya tiba-tiba gelap.

***

Aku terbangun di kamar kosku. Kepalaku masih terasa berat, rasanya pusing dan mual. Kusebarkan pandangan ke seluruh ruang ini, sangat gelap. Namun aku masih bisa melihat beberapa furnitur yang kumiliki seperti; meja belajar, lemari kayu, rak buku kecil, dan kursi.

“HAH!”

Aku berteriak hingga melompat dari tempat tidurku saat menyadari ada sosok bertubuh tinggi dan kurus yang berjalan mengendap-endap ke arah jendela. Siluetnya dalam kegelapan seperti figur laki-laki tanpa busana yang botak. Tubuhku kembali membeku, dan kedua mataku terasa tak bisa berpaling dari sosok itu.

CONTENTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang