22. Bermain dengan api

6.3K 723 61
                                        

"Oh, Killian udah bangun? Syukurlah, kata Ibu kamu susah banget dibagunin." Suara Gofaro terdengar-- mengeluarkan Cillian dari lamunan.

Mata Cillian berkaca kaca, ia pun merasa bingung-- ada apa dengan dirinya. Padahal sedari dulu, ia bukanlah tipe orang yang terbiasa bangun telat.

Melangkah mendekati kedua Kakaknya, suara Cillian terdengar bergetar. "Kak.."

Stave tersenyum, ia paham dengan perasaan adiknya. Mengkode untuk mendekat, Stave merentangkan tangan. "Sini."

Cillian buru buru masuk kedalam pelukan Stave, ia merasa bersalah tak bisa menemani kedua saudaranya di malam yang dingin-- padahal hanya dia yang berada disekitar mereka saat ini.

"Kak maaf."

"Udah, gak papa. Ngapain minta maaf?" Elusan lembut Stave berikan di punggung, ia lebih bersyukur melihat Killian yang ternyata baik baik saja.

Pintu kembali di buka dengan tergesa, Lex hadir di tengah tengah mereka. Akhir akhir ini ia lebih sering menginap di resort dan ketika mengecek ponsel, betapa terkejutnya ia ketika mendapat kabar dari pelayan rumah tentang kejadian yang dialami kedua saudaranya.

"Gimana keadaan kalian?"

"Syukurnya mobil Papa gak murahan jadi kita bisa selamat, cuma ya.. tulang kaki gue retak," sahut Devin dengan santai-- barulah Cillian menyadari jika kaki Devin berbalut Gibs.

Kedua pemuda itu memang sengaja ditempatkan di satu kamar, dengan posisi brankar Devin di ujung dinding sedangkan Stave di sisi yang lebih dekat dengan kamar mandi.

"Abang udah ngabarin yang lain, mereka dalam perjalananan pulang." Tangan Lex terulur tuk mengacak rambut Killian. "Adek belum mandi ya?"

"Gimana gue masih bisa mikirin soal mandi kalo pas bangun udah denger kabar Kakak kecelakaan!" Jawab Cillian.

"Lah, lu belum makan dong cil?" Stave sedikit terkejut, pasalnya jam sudah memasuki waktu makan siang.

"Ajak dia makan dulu bang, dia gak biasa perut kosong."

Lex mengangguk, menyetujui ucapan Devin. "Kita makan dulu ya, terus pulang, mandi, nanti kesini lagi."

"Terus Kakak?" Cillian menatap wajah Lex.

"Ada Pak Agus, Pak Iwo sama Faro disini. Kita bentaran aja, nanti balik lagi."

Menghela napas, Cillian menyetujui perkataan Abangnya. Saat ini bukanlah waktu untuk menjadi keras kepala.

Ruangan menjadi lebih hening saat Lex dan Killian pergi. Agus dan Iwo menepi dan saling berbincang, membiarkan Gofaro memotong apel untuk dimakan kedua tuan muda Farms.

"Jangan salah paham sama Killian ya Kak. Kalian bisa liat sendiri wajah paniknya gimana tadi. Malam tadi hujan benar benar lebat, mungkin karena itulah Killian tidur sangat nyenyak," suara Gofaro terdengar membuka percakapan.

"Ya, kami tau. Lagipula lebih aman Killian berada di rumah daripada ikut ke rumah sakit saat hujan badai malam tadi," Stave membalas perkataan Gofaro.

"Killian itu bukan anak yang bisa ditebak sifatnya tapi aku yakin kalo dia itu tulus. Dia bahkan berusaha ngebuat Karuel dapat kehidupan yang lebih baik dengan cara menjadikannya saudara."

Devin kini memfokuskan pandangannya pada Gofaro-- tak lagi pada ponsel. "Lo tau?"

"Tau. Aku udah pernah ketemu sama Karuel. Dan Killian juga pernah bilang tentang niatnya," jawab Gofaro tanpa balas menatap Devin.

Helaan napas terdengar. "Kayaknya Killian emang bener bener niat jadiin Karuel adeknya walau pada kenyataan Karuel lebih tua. Gimana menurut lo Faro?"

Gerakan tangan Gofaro terhenti, ia menatap ke arah Devin. "Tentang?"

Side Back || Transmigrasi [END]Where stories live. Discover now