ketika ada satu hari lagi bagi mereka untuk bahagia

885 77 4
                                    

Tidak ada hal yang disukai oleh Semesta kecuali embusan angin yang menerpa epidermis tubuhnya setwlah berminggu-minggu tidak bisa keluar dari rumah sakit. Membuatnya merenggangkan tangan dan menarik napas panjang. Surainya bergerak, ikut tertiup, hingga menusuk kedua netranya. Semesta sedikit mengenyit ketika dinginnya air laut menyentuh kedua kakinya. Dengan senyuman di bibir, Semesta membalik tubuh. Menatap keluarga kecilnya yang sedang berbincang hangat sambil memakan camilan yang sengaja dibawa.

Setelah bertahun-tahun lamanya, pada akhirnya Semesta dapat merasakan bagaimana rasanya memiliki keluarga yang lengkap. Meski tanpa hubungan darah sama sekali, namun Semesta tahu bahwa mereka adalah keluarga yang sebenarnya. Dengan itu, Semesta bersyukur karena diberikan kesempatan sekali lagi untuk menjalani hidup.

"Kak, lo mau makan apa?" Sosok laki-laki bernetra hijau berteriak, berjalan dengan langkah lebar menghampiri Semesta. Lalu, ketika merasakan ada yang berbeda pada binar di kedua manik matanya, ia mengernyit. "Tumben."

"Tumben?" Semesta balik bertanya.

Kafka, laki-laki bermanik hijau tersebut mengangguk pelan. "Tumben lo kelihatan lebih senang daripada biasanya," balas Kafka. "Biasanya aura lo nyeremin."

Setelahnya, Semesta mungkin menyesali nasibnya yang memiliki saudara tiri semacam Kafka. Namun, di sisi lain, Semesta tidak bisa memikirkan jika dirinya mendapat saudara tiri selain Kafka. Hidupnya mungkin akan berbeda.

"Jadi, lo mau makan apa?" Kafka kembali bertanya, kemudian beralih pada lautan yang terbentang luas di hadapannya. Ia berdeham pelan. "Ngomong-ngomong, dunia ini ternyata indah banget, ya."

"Ya." Semesta membalas singkat.

"Gue senang karena gue masih bisa hidup sampai saat ini. Karena keputusan gue ... yang mungkin nggak bakal disenangi sama bunda gue." Kafka tertawa kemudian. "Gue juga senang karena lo masih mau bertahan sampai sekarang. Gue tahu rasanya berat, lo pasti mau lari dari kenyataan. Tapi, tolong bertahan sebentar lagi, ya."

Semesta tertegun. Ucapan Kafka terdengar begitu tulus, hingga membuat kedua maniknya berkaca-kaca. Tanpa pernah Semesta sadari, seulas senyum terlukis di bibir.

"Lo sebentar lagi lulus profesi, ya?" Semesta kemudian mengalihkan pembicaraan. "Setelah ini, lo mau ke mana? Kerja? Lanjut kuliah lagi?"

Kali ini, ganti Kafka yang diam. Maniknya menerawang jauh ke depan. Untuk beberapa bulan, Kafka hampir tidak memikirkan langkah yang harus ia ambil ke depannya.

"Ke mana, ya?" Kafka bergumam pelan. "Gue mungkin bakal kerja, ngumpulin uang buat lanjut sekolah lagi. Gue mau ambil spesialis."

Semesta tidak pernah menyangka bahwa jawaban Kafka akan membuatnya merasa sedih, namun juga merasa senang di waktu yang sama. Ia mungkin tidak memiliki masa depan, namun orang yang sudah Semesta anggap sebagai adiknya tersebut masih memilikinya. Semesta mungkin tidak dapat lagi melangkah maju, tetapi Kafka masih akan terus bergerak.

Terus melangkah dan suatu saat akan meninggalkannya di belakang. Tidak ada hal yang dapat Semesta lakukan kecuali membantu mendorong punggungnya.

"Ya, gue cuma bisa berharap, sih. Gue tahu sekolah lagi bakal makan biaya yang banyak. Gue nggak mungkin terus bergantung ke orang tua." Kafka melanjutkan. "Prosopagnosia gue bakal bikin gue susah diterima kerja. Tempat kerja mana yang mau nerima orang cacat—um, gimana ngomongnya, ya? Intinya gitu."

Semesta tertawa pelan. "Lo pasti bisa, Kaf," ucap Semesta. "Lo masih punya jalan yang panjang. Cerita lo nggak berakhir sampai di sini. Masih ada banyak hal yang harus lo lewatin, dan lo harus berhasil."

"Ah, ngeri banget omongan lo. Jadi kayak dikasih beban," balas Kafka. "Tapi, kalau dengan itu lo juga mau tetap bertahan hidup, gue bakal berusaha."

"Ya ... mungkin." Semesta berdeham pelan. "Gue bakal hidup sampai ngelihat lo punya gelar spesialis di belakang nama lo."

"Kalau cuma sampai situ, apa setelahnya lo bakal menyerah?"

Semesta diam sejenak. Ia mengulas senyum tipis. Begitu hangat. "Ya, kita lihat nanti."

Kafka merangkul pundak Semesta. Senyumnya tampak lebar. "Makasih, ya, Kak, karena udah mau jadi kakak gue. Gue senang banget karena bisa punya kesempatan buat jadi saudara lo."

Semesta balas merangkul Kafka. Selama anggota tubuhnya masih bisa bergerak, Semesta tidak akan pernah berhenti untuk menopang sang adik, bahkan ketika dirinya berada di posisi terendahnya.

"Gue juga harusnya berterima kasih karena udah dikasih kesempatan buat ngerasain kebahagiaan yang lainnya. Gue mungkin udah cukup dewasa, tapi gue nggak pernah nyangka, punya keluarga yang lengkap ternyata nggak buruk juga."

"Apalagi punya saudara kayak gue, 'kan?"

Semesta mengangguk pelan, kemudian mendorong tubuh Kafka dengan lembut. Berjalan menghampiri ayah dan bundanya yang duduk di atas pasir.

"Jadi, bunda kita masak apa hari ini?"

•••

A/n

Kangen banget sama mereka :") nggak nyangka cerita ini udah selesai cukup lama ehehehe

KelabuWhere stories live. Discover now