04. Makhluk Yang Cacat

169 119 16
                                    

"Jangan pernah sekalipun berdiri di ambang yang sama dengan para yang kau benci

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

"Jangan pernah sekalipun berdiri di ambang yang sama dengan para yang kau benci. Berhati-hatilah dalam berbuat, utamakan otak daripada hati."

***

Alisa memejamkan matanya, entah berapa lapis sudah dahinya berkerut. Berkali-kali dia memejamkan matanya dan membukanya, memandang ke segala penjuru yang ia bisa. Duduk di kursi di depan asrama dan menikmati pemandangan halaman luas yang dibatasi oleh dinding dan pagar yang tinggi, berharap bisa membuatnya lebih santai daripada berdiam diri di kamar. Ini tidak terlalu pagi, kan? Jarum sudah menunjuk angka 6 dan 12 saat Alisa keluar dari kamar tadi, matahari juga belum terlihat menyilaukan.

Ugh, sejak tempo hari dia membunuh Tirta Gadjapati, hampir segala dalam dirinya berubah. Mengontrol pikiran dan tindakan seakan sudah jadi tantangan dengan tingkat sukar sendiri. Semalam masih normal hingga pagi jam 4 dini hari tadi. Saat Alisa mendadak terbangun dengan urusan ingin ke toilet, dia mulai melihat hal-hal aneh. Sosok hitam dengan mata merah menyala yang mengintip di balik jendela yang ditutup tirai? Alisa pikir itu hanya halusinasi karena dia terlalu lelah.

Tapi lihatlah sekarang, sosok-sosok hitam itu berdiri diam di segala sudut yang bisa Alisa lihat. Di balik batang pohon dan di atas rantingnya, di balik pagar, di atas dinding pembatas, bahkan ada yang berdiri sangat dekat dengan Alisa! Sepertinya hanya berjarak lima langkah. Alisa berusaha untuk tidak menatap sosok itu, setidaknya jangan sampai dua pasang mata ini saling beradu. Namun demi Tuhan, mereka ada di mana-mana!

Para sosok itu hanya berwujud hitam berbentuk bayangan manusia dari kepala hingga kaki. Tak ada tangan dan anggota tubuh lain kecuali mata dengan warna merah yang menyala. Tak ada suara yang ditimbulkan apalagi tindakan yang dilakukan, diam dan meratapi itulah mereka.

"Alisa! Oh, kau di sini ternyata," Erina menepuk bahu Alisa, sedikit mengejutkannya dari rasa tegang yang tak nyaman. "Masa libur sekolahku bentar lagi usai, aku ingin menghabiskan waktu lebih banyak bersamamu."

Alisa tersenyum tipis, dia akhirnya bisa menatap sesuatu dengan lebih tenang. Tidak sepenuhnya tenang karena sosok-sosok itu tetap mampu terlihat di sudut kanan dan kiri penglihatannya.

"Padahal aku berharap kau di sini lebih lama."

Alisa mengayun-ayunkan kakinya. "Jika aku berada di sini lebih lama, apa kau akan keberatan? Aku merasa tak enak karena di manapun aku berada, aku hanya menjadi beban finansial bagi orang lain."

"Heh!" Erina reflek memukul lengan Alisa. "Aku tidak merasa terbebani! Kalau kau mau ada di sini lebih lama, aku akan dengan senang hati menerimamu."

Senyum kecut lemon terukir di wajah Alisa. "Pada akhirnya semua orang adalah beban."

"Jika faktanya memang begitu, maka kau adalah beban yang dengan senang hati akan aku tanggung."

Si Pembunuh "Alisa"Where stories live. Discover now