50. HUJAN DARI PELUPUK MATANYA

58.8K 5.1K 2.1K
                                    

3.80K VOTE + 2K KOMEN NEXT

50. HUJAN DARI PELUPUK MATANYA

Kaki jenjang yang biasanya melangkah tegap penuh percaya diri membuat siapa pun yang melihatnya menunduk ciut, kini lunglai. Bahu lebar yang biasanya kokoh sekarang merosot seolah tak ada gairah hendak hidup. Mata elangnya tidak lagi bersorot tajam, tapi kosong dan berkaca-kaca.

Marsel, tidak menyusul Alana. Bukannya tak mau, Marsel ingin, ingin sekali malah mengejarnya, memeluknya erat dari belakang sambil terus membisikkan kata maaf ke telinganya. Tapi Marsel tak punya nyali. Marsel takut menatap netra gadis itu setelah melihat langsung pancaran jijik yang timbul di kedua manik cokelat terang wanitanya.

Marsel paham bagaimana kecewanya Alana padanya. Jangankan gadis itu, Marsel saja jijik dengan dirinya sendiri.

Buangan napasnya terdengar berat sesampainya Marsel di dalam kamar tidurnya yang gelap gulita, seperti hidupnya dulu, sebelum kedatangan gadis lugu si pemberi warna dunianya yang abu-abu. Marsel berjalan gontai mendekati dinding untuk menekan sakelar lampu.

Atensi Marsel langsung jatuh pada cermin besar di kamarnya. Pria itu bergerak maju, berdiri tepat di depan kaca. Dia teliti lamat-lamat rupa bajingan yang selalu menggoreskan luka di hati Alana. Senyuman getir terbit di bibir Marsel bersamaan dengan lolosnya air matanya.

Sebelum menjemput Alana Marsel dari rumah Kenzo. Marsel belum tahu surat apa yang dibawa kedua orang tuanya ke rumah Dirga dan Kenzo berkata akan membantunya mencari tahu. Marsel sudah cukup stres memikirkan itu semua ditambah lagi Marsel juga tidak tahu apa penyebab Alana menangis.

Membuatnya mau menghancurkan sesuatu sebagai pelampiasan ketidaktahuannya. Tangan kanannya mengepal kuat, kemudian terangkat guna melayangkan tinjuan keras ke benda mati tersebut berkali-kali hingga retak. Kepingan kaca menancap di buku-buku jarinya, mengoyak kulit dan daging tangan Marsel, membuka jalan agar cairan merah pekat itu bisa keluar.

"Gue cuman mau jadi pacar yang bisa Alana adelin. Gue mau dia bergantung sama gue." Marsel bergumam, seolah-olah pantulannya di sana bisa mendengar dan berbicara. "Gue gak suka dia nyembunyin sesuatu dari gue," monolognya.

"Apa sesulit itu jujur sama gue tentang apa yang dia rasain?" Kembali Marsel layangkan tinjauannya di tempat yang sama, berulang-ulang, membiarkan serpihan beling tadi semakin dalam melukainya.

"Sekarang dia gak mau bicara lagi sama gue." Marsel mengadu seperti anak kecil entah kepada siapa. "Gue harus gimana?" Bibir Marsel bergetar kecil. "Gue bingung," katanya pelan.

Seluruh anggota tubuhnya terasa ngilu. Dadanya bahkan diserang nyeri saat dia menghela napas. Marsel naik ke atas kasur tanpa membersihkan dirinya terlebih dahulu usai terdiam agak lama. Pakaiannya yang kotor juga tidak dia ganti. Laki-laki itu meringkuk di ranjang, ia kedinginan karena suhu ac berada dalam mode cool. Namun, sedikit pun Marsel tak berminat berselimut. Anggap saja ini hukuman tambahan atas segala perbuatannya malam ini.

Netra sendu Marsel memandang lurus ke jendela kamarnya yang terbuka alih-alih memejamkan mata, mengistirahatkan batinnya. Embusan angin malam masuk, menambah sejuk udara sekitarnya. Pandangan Marsel memburam, dia berkedip satu kali. Bulir bening itu meleleh membasahi bantalnya.

"Kira-kira kali ini Alana marahnya lama gak ya?" Marsel berujar lesu. "Dia benci gak ya sama gue?" Sesudahnya Marsel tertawa hambar. "Bego lo Sel. Pasti benci lah."

MARSELANA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang