(40) Pelukan Gio

6 2 0
                                    

Zea meneduh di bawah halte bus. Hujan deras mengguyur jalanan yang terasa sepi. Hari sudah mulai gelap, namun Zea tak kunjung beranjak pulang.

Hatinya merasa bersalah pada Gilang, ia kembali membuka kado kecil berwarna putih yang diberikan Gilang yang isinya secarik kertas dan sebuah gelang berhuruf z.

Dear Zea

Sejak gue join geng SARM, gue ngerasa punya kedekatan sama lo.
Entah sejak awal kita bertemu, gue udah suka sama lo.
Bisa dibilang gue suka lo pada pandangan pertama, kedengaran nya aneh tapi ini nyata buat gue.
Gue selalu diem-diem lindungin lo, lo tau kenapa gue sering marah karena lo deket sama Danil? Itu karena gue cemburu...

Tapi untuk kali ini, gue mencoba menghapus perasaan gue ke lo, gue gak tau bakal bisa apa gak.

Tapi setidaknya setiap ketemu gue, bersikap lah cuek agar gue bisa lupain perasaan gue.

Gio, itu nama kakak lo kan? Gue pernah ketemu dan diminta buat jagain lo. Sebenarnya itu alasan pertama gue buat jagain lo, tapi seiring waktu alasan klasik itu berubah menjadi alasan yang masuk akal.

Makasih udah mau nerima gue, setelah ini gue janji gak akan maksa lo buat nerima gue lagi.
Semoga pilihan lo yang terbaik, Zea

Dari Gilang.

Perasaan bersalah terus menyelimuti Zea. Ternyata selama ini? Zea sering mendengar jika Danil dan Gilang bertengkar, masalahnya cuma satu. Lagi-lagi Zea menyakiti pria yang menyukainya secara tulus.

"Maaf"

Entah sudah ke berapa kalinya ia mengulang kata itu. Ia sendiri masih sedikit berharap bersama dengan pria yang ia suka juga.

"Zea, kenapa lo masih disini? Ini udah malem lho. Ayo gue anterin ke rumah"

Suara khas pria yang sudah ia sakiti hatinya datang karena mengkhawatirkan nya. Tunggu, mengkhawatirkan nya? Apa benar?.

"Maaf"

Bukannya menjawab pertanyaan Gilang, Zea malah mengatakan kata yang membuat Gilang muak.

"Hentikan, gue gakpapa kok. Gak usah ngerasa bersalah gitu"

Gilang menepuk pelan rambut Zea yang sedikit basah. Ia sendiri juga basah di bagian celananya. Ia kesini bersama supir pribadinya yang sengaja ia minta untuk menjemput Zea.

"Lo berhak dapetin yang lebih baik dari gue. Lupain gue ya?"

Gilang tertegun. Tidak, seharusnya tidak begini, ia ingin agar Zea luluh dengan sikapnya meskipun sudah ditolak.

"Gue ba-kal co-ba" Ujar Gilang sedikit terbatas karena ia merasa kelu untuk mengatakan sepenggal kalimat.

Zea tersenyum, lalu dengan terpaksa ia mengambil tangan paksa Gilang dan memberikannya secarik kertas tersebut.

"Gue mohon lo bawa ini, gue gak bisa jika gue terus-terusan nyimpen. Bisa jadi gue bakal gila karena nanti gue selalu akan ngerasa bersalah sama lo"

Gilang sudah kecewa, kecewa berat. Sampai kecewanya, ia meninggalkan Zea sendirian di halte tanpa mengatakan sepatah kata apapun.

🥀🥀🥀

Zea terus menggigil kedinginan saat air-air hujan semakin deras. Ia terpaksa pulang sendiri hujan-hujanan, jika harus menunggu hujan reda akan terlalu kemalaman.

Bibirnya pucat, kakinya yang hanya dibaluti kain jeans sudah basah kuyup. Suara gledek guntur bertebaran dimana-mana membuat kesan semakin menyeramkan.

"Mas Ilmi" Gumamnya, entah kenapa ia melontarkan kata tersebut. Padahal Ilmi bukan dari keluarganya.

Tiba-tiba ia merasa, air hujan yang menimpanya berhenti. Ia mendongak keatas, bibirnya tak sadar tersenyum.

"Abang"lirihnya

Sebelum pulang dari kantor, Gio sempat melihat Gilang pulang sendiri bukan bersama dengan Zea, hal itu membuat insting seorang kakak mengatakan bahwa adiknya sedang tidak baik-baik saja.

"Kenapa pulang tidak bersama Gilang?" Zea tidak menjawab. Gilang meletakkan jasnya agar sedikit menghangatkan tubuh Zea yang kedinginan.

"Gue pantas gini bang, gue udah buat dia kecewa. Abang dulu nyuruh Gilang buat jagain gue ya bang? Kalau iya, sekarang jangan suruh lagi. Karena gue ga-"

Kesadaran Zea tiba-tiba saja pudar membuat Gio panik setengah mati, ia segera menggendong Zea dan membawanya ke rumah.

🥀🥀🥀

"Ugh"

Suara lenguhan membuat Gio tersadar dari lamunannya. Perlahan mata Zea terbuka, pusing menyerang di area kepalanya.

"Abang"

Gio segera mendekat saat Zea memanggil. Terlihat wajah Zea sangat pucat.

"Kamu demam, abang udah kompres kamu tadi. Lumayan mendingan, lebih baik kamu istirahat. Jangan dipikirkan kejadian tadi.

Gio mengusap pelan rambut Zea. Zea hanya mengangguk patuh. Tubuh Zea benar-benar lemas jika dibuat bicara.

Lo buat kesalahan sampai adik gue sakit lang, lo harus Terima akibatnya, batin Gio.

Setelah membelai rambut Zea yang menghalangi pandangan Zea, Gio menutup pintu kamarnya. Ia berjalan menuju ruang kerjanya. Kepalanya terasa akan pecah sesaat ia melihat gambaran potongan daging manusia yang membuatnya mual.

"Kenapa ada hubungannya dengan kasus pembunuhan dan juga, Tunggu"

Ia sedikit terkejut pada lembar selanjutnya yang menampilkan korban mayat sepasang kekasih yang mati dalam insiden kebakaran di hotel safari.

"Gila, gue harus memastikan apakah benar yang gue simpulkan?"

🥀🥀🥀

"Akhh, parah lo Gilang. Kenapa lo ninggalin Zea sendiri"

Gilang membenturkan kepalanya pada kursi depan. Ia seharusnya tak meninggalkan Zea sendirian, ia sekarang benar-benar merasa bersalah.

"Pergi kembali ke halte tadi" perintah Gilang pada supir pribadinya.

Tanpa banyak protes, supir pribadinya langsung melesatkan mobilnya ke tempat yang ditujukan tuannya. Disana Ternyata sudah tidak ada Zea, membuat ketakutan Gilang semakin menjadi.

"Pak Nas-"

Perkataan Gilang terpotong saat muncul notifikasi dari kontak calon kakak ipar yang tentunya adalah Gio.

[Menjauh saja dari adikku kalau kamu memang tidak bisa menjaganya, setidaknya jangan menyakitinya ]

Hanya pesan singkat membuat hati Gilang mencelos. Hatinya berdesir, ia tersenyum miris.

"Padahal lo juga gak bisa jagain dia" Gilang hanya mengatakan pada hatinya. Lebih baik ia pulang kerumah, pastinya Zea sudah dijemput abangnya yang menurutnya sok-sok an menasehati nya.

____
#Tbc

Ilzea (Tunda) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang