Satu bucket ice cream tidak pernah salah. Pulang dari sekolah Dean, Mitha memilih mengambil cuti setengah hari. Nanti malam ia akan ke rumah orangtuanya juga. Jadi sore ini, setelah Dean menikmati tidur siang Mitha memutuskan berjalan-jalan sejenak membawa Dean sebelum mereka pergi ke rumah orangtua Mitha.
Mitha tau anak itu sedih dan ini cara ia menghibur hati Dean. Ia menawarkan satu bucket ice cream untuk Dean dan anak itu bebas memilih rasa apapun yang ia inginkan di dalam ice cream-nya.
"Mama mau?" Dean sudah mengambil suapan ice cream untuk Mitha.
"Yum! Terimakasih, Sayang," ucap Mitha yang menerima suapan Dean.
Seulas senyum terukir di wajah cantik Mitha. Mengingat akan rahasia kecil pertama mereka. Dean boleh memanggil Mitha dengan sebutan Mama jika ia mau. Dengan syarat hanya saat mereka berdua. Tanpa Papa Arlo atau siapapun.
Tampaknya Dean memang sangat pintar sehingga ia menangkap baik perjanjian kecil mereka dengan cepat.
Puas dengan ice cream, Mitha memasuki satu toko buku untuk membeli buku mewarnai dan beberapa buku pembelajaran seusia Dean. Ia menyadari terkadang anak itu suka mencoret-coret sesuatu. Arlo pun memasukkan buku menggambar di tas mainan Dean.
Ice cream sudah, buku sudah, dan hal terakhir. Ia membawa Dean ke sebuah toko mainan. Sebelum ia melepas Dean untuk memilih mainan kesukaannya, Mitha mengajak anak itu berbicara lebih dulu.
"Abang pilih satu mainan yang abang mau, okay? Yang abang suka banget dan abang gak akan bosan sama itu," ujar Mitha.
Mendengar permintaan Mitha, kening Dean berkerut sesaat namun ia mengangguk menurut. Dean berjalan mengitari toko mainan rak demi rak dan Mitha mengekori dari belakang tanpa komentar apapun. Ia benar-benar membebaskan Dean dengan pilihannya.
Sebuah Lego. Anak itu datang dengan sebuah Lego yang cukup rumit. "Kenapa Abang mau ini? Abang bisa selesaiinnya?" tanya Mitha penasaran karena Lego yang dipilih Dean diperuntukkan jauh bagi di atas umurnya. Untuk 13 tahun ke atas dan Dean masih berumur 4 tahun.
"Abang sekarang 4 tahun. Ini 13 tahun. Abang punya satu... dua... tiga..." Anak itu sibuk menghitung menggunakan jarinya sampai ia mendapatkan angka 9 sebagai jawabannya.
"9 tahun!" Pekik anak itu sendiri.
Tawa Mitha meledak. Ia tak habis pikir Dean sudah memahami konsep lama umur. "Begitu ya? Jadi Abang mau mainin ini 9 tahun lagi? Tunggu 13 tahun kan?" tanya Mitha memastikan keinginan anak itu.
"Hmm.." Kini Dean tampak berpikir kembali. "Main sama Mama. Mama bantu Abang." Ia datang dengan solusi lain.
"Jadi Mama ikut main?" tanya Mitha kembali dan anak itu mengangguk.
"Mama bilang mau main sama Abang. Mau jadi mama Bang Dean." Dean kembali mengucapkan apa yang Mitha ucapkan di sekolahnya tadi.
Mendengar itu Mitha malah tersenyum. Anak ini benar-benar sesuatu. Ia mengangguk menuruti permintaan Dean dan pada akhirnya mereka membeli sebuah Lego cukup besar untuk anak berumur 13 tahun yang akan dimainkan bersama.
Semua sudah selesai dan mood Dean jauh lebih baik sekarang. Tugas mereka hanya tinggal satu saja. Memasuki toko roti untuk membeli kue kesukaan ibu dan ayah Mitha.
Hubungan mereka tidak sebaik dulu. Apalagi setelah kejadian Mitha yang hamil di luar nikah dan berkeras tidak memberitahu siapa pria brengsek yang menghamilinya. Namun Mitha masih berusaha untuk hormat kepada kedua orangtuanya dan malam ini ia datang karena ibunya memintanya untuk berkunjung ke rumah.
Banyak roti yang berjejer juga kue kering yang ditata di dalam toples cantik. Mitha sudah memegang satu nampan putih di tangannya dan Dean yang mengekori. "Abang mau yang mana?" tanya Mitha pada Dean.
"Mama suka kue?" tanya Dean berbalik.
Mitha sedikit berpikir. Bukan menimang ia menyukai kue atau tidak. Namun Mitha belum menjelaskan mengapa ia membeli kue dan roti serta siapa yang akan ia temui bersama Dean.
"Abang, setelah ini kita mau ketemu Oma dan Opa, okay?"
"Siapa Oma dan Opa?" tanya Dean lagi.
"Papa sama Mamanya Mama Mitha. Oma dan Opa sama kayak Nenek dan Kakek Dean."
Sama seperti Nenek dan Kakek berarti banyak hal menyenangkan menurut Dean. Senyum lebar anak itu terukir. Ia sangat menyukainya. "Oma dan Opa punya banyak mainan?" tanya Dean pada Mitha.
Mainan? Seharusnya sangat banyak. Meskipun keluarga kakaknya kini menetap di Jerman bersama dua anak menggemaskan, namun ada keluarga adik Mitha dengan satu bayi perempuan berumur 2 tahun yang menggemaskan senang bermain di rumah orangtuanya. Jadi jelas akan banyak mainan di rumah orangtua Mitha.
"Ya. Mereka sangat suka dengan anak baik dan menggemaskan seperti Abang," jawab Mitha.
Dan sekarang mereka sudah berdiri di depan sebuah rumah besar yang berada di kompleks perumahan mewah. Mitha menggenggam tangan Dean dan membawa satu paperbag berisi kue dan roti kesukaan orangtuanya.
Sebelum memasuki rumah, Mitha juga melihat satu mobil lain yang terparkir di pelataran kediaman orangtuanya. Terlihat asing namun tidak untuk plat mobilnya. Ia sangat hafal plat design khusus tersebut. Senyum Mitha merekah saat ingat siapa pemilik nomor polisi unik itu.
"Hallo." Suara Mitha terdengar ketika memasuki pintu besar kediaman orangtuanya.
Mitha bisa melihat kedua orangtuanya tengah duduk di ruang tamu. Berbicara dengan seseorang yang Mitha juga sangat kenal. Melihat wajah putrinya, ibu Mitha langsung berdiri menyambut Mitha.
"Mitha! Mama kangen banget!" ujar ibunya sambil memeluk Mitha erat.
"Dan siapa anak tampan ini?"
Kini ibunya beralih pada Dean yang berdiri di samping Mitha. Ia menyamakan tingginya dengan Dean dan memberikan salam perkenalan pada Dean.
"Ayo, Abang Dean kenalin dulu. Ini dipanggil Oma ya, Sayang." Mitha mengenalkan ibunya pada Dean.
"Dean, Oma," jawab Dean menyalam dengan sopan tangan ibu Mitha.
Sebelum pertanyaan muncul karena Mitha bisa melihat raut penasaran ayah dan ibunya, ia harus menjelaskan siapa Dean. "Dean anak temen aku, Ma, Pa. Kebetulan papanya dulu satu kantor sama aku. Nah papanya Dean lagi tugas ke Papua. Single Parent jadi gak ada yang jaga Dean," jelas Mitha lagi memberikan penjelasan mengapa anak orang bisa bersamanya.
Ia hanya takut ibu dan ayahnya bertanya kemana ibu Dean dan Mitha tidak suka menjelaskan Ibu Dean sudah tiada di depan Dean.
"Manis sekali. Ayo sama Opa di sana. Ini ada Opa, dan ini ada Om." Ibu Mitha sudah mengambil Dean untuk mengenalkannya pada ayah Dean dan seorang pria di sana.
Mitha selalu tau ibunya tidak pernah bisa menolak seorang anak kecil. Hal itu juga berlaku untuk mendiang anak Mitha. Saat tau bayi kecilnya, Ariel, sakit. Ibu Mitha-lah yang pertama kali mendatanginya.
Ibunya terus menenangkan Mitha sambil menemani menjaga bayi Ariel di rumah sakit. Ibunya yang mau menggendong Ariel. Ibunya yang mengatakan Ariel adalah anak yang cantik. Ibunya adalah orang pertama di keluarga Mitha yang menerima keberadaan Ariel.
Juga Ibunya yang menyemangati Mitha ketika Ariel pergi. Ibunya yang memeluknya erat, mengatakan Ariel sudah tidak kesakitan. Ibunya yang ikut berkabung atas kepergian Ariel. Ibunya yang beberapa kali mendatangi makam Ariel hanya untuk mengunjungi cucunya.
"Anak siapa ini? Pintar sekali." Kini pujian itu terdengar dari ayah Mitha ketika melihat Dean yang sopan menyalamnya sambil mengenalkan diri.
"Anak Papa Arlo," jawab Dean polos membuat ibu dan ayah Mitha tertawa.
Mendengar nama Arlo yang disebut, pria yang tadi tengah berbicara dengan kedua orangtua Mitha menatap Mitha. Senyum usilnya muncul. "Oh, ini punyanya Arlo, Mit?" tanya pria itu membuat Mitha melotot padanya.
Hanya satu orang yang tau siapa ayah Ariel. Satu orang yang Mitha beritahu ketika bayi Ariel sudah tiada. Pria itu Bene, teman baik Mitha. Dialah yang mengetahui siapa pria yang menjadi ayah dari anak sahabatnya dan bagaimana cerita mereka.
"Eum... Ben. Dean boleh panggil aku Om Ben, okay jagoan?"
Bene mengusap puncak kepala Dean ketika ia mengenalkan dirinya pada Dean.

ESTÁS LEYENDO
Mahakam Bercerita
Ficción GeneralJika ada kata yang tepat untuk mendeskripsikan Mitha maka Badut Dunia adalah jawabannya. Dunia ini dipenuhi 8 milyar manusia. Jakarta dengan 10 juta lebih penduduk. Waktu yang berbeda, kesibukkan yang berbeda dan ia kembali dipertemukan dengan kisah...