20. Justice, love, and sacrifice

109 25 1
                                    

***

Setengah jam berlari tanpa arah, akhirnya Emilia menyerah juga. Tubuhnya terasa mati rasa. Ia terkapar pada aspal jalan tanpa tahu malu. Untungnya, saat itu jalanan sedang kosong. Tidak ada mobil maupun motor yang melintas. Bahkan manusia, kehadirannya tidak terlihat sejauh mata memandang.

Emilia menelaah tempat ini lamat-lamat. Sepertinya, ia sedang berada di kawasan perumahan. Rumah-rumah di sini jenisnya berbeda-beda. Maka, ia berasumsi bahwa ini bukanlah klaster. Hanya perumahan biasa, dengan status ekonominya yang jomplang.

Ia memejamkan matanya sejenak. Melupakan bahwa ia sedang rebahan di atas aspal, bukan ranjang. Yah, lelah memang tidak tahu waktu.

Raline, bagaimana kabar dia sekarang?

Tiba-tiba, sosok gadis itu terlintas lagi di pikiran Emilia. Ia sangat merindukan Raline. Pun, rasa khawatirnya sudah tak terbendungi.

Ah, andai saja ia tak salah jalan. Mungkin wajah Raline sudah ia tatap sekarang.

Namun....

Andai saja ia tak salah jalan, sisi busuk Olive tidak akan terkuak. Ia tidak akan tahu bahwa Olive adalah dalang dari semua ini.

"Aku harus ungkap semuanya," gumam Emilia pelan. Kelopak matanya terbuka, menatap hamparan langit biru di atas sana.

Raline, gadis itu butuh keadilan.

Sekarang, hanya dirinya satu-satunya harapan. Hanya dirinya yang percaya pada Raline. Hanya dirinya.

"Lo ngapain rebahan di jalan?"

Emilia tersentak kaget. Sontak ia bangun dari rebahnya, terduduk kaku. Ya Tuhan, mau ditaruh di mana muka dia?

"Kalo ada motor gimana? Gak jelas." Seorang gadis berambut panjang menghampiri dirinya. Tangannya diulurkan, membantunya untuk bangkit. Dengan gugup, Emilia menggenggam tangan itu. Lantas segera bangun dari duduknya. "Baju lo kotor, tuh." Gadis itu membersihkan seragam Emilia yang kotor.

Emilia tersenyum kaku, "T-terimakasih."

Gadis berambut panjang itu balas tersenyum. Sejenak, manik gadis itu memperhatikan Emilia dari bawah ke atas. Setelahnya, manik gadis itu membola-agaknya menyadari suatu hal.

"Loh, seragamnya sama kayak gue. Lo sekolah di SMA Nusa Bangsa? Kelas berapa?" tanyanya antusias.

Ingat? Emilia itu tak terlalu 'terlihat' di sekolahnya. Kemampuan sosialisasinya payah, sangat payah. Raline adalah satu-satunya teman yang ia punya.

Emilia mengangguk, lantas tersenyum kecut, "Kelas 12, sama kayak kamu, Kal."

"Lo tau nama gue!?" tanyanya lebih antusias. Matanya membola menyenangkan, nada bicaranya mayor girang. Bahkan tubuhnya melompat-lompat kecil saking senangnya.

Emilia mengangguk, "Kaleesha, kan? Kamu tuh famous. Semua angkatan juga kenal sama kamu."

Ah, iya juga. Kaleesha menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, "Hehe, nggak juga kok. Yaa, ordinary lah. Nggak terlalu famous juga."

"Ih, merendah untuk meroket," jawab Emilia spontan, yang langsung memantik tawa Kaleesha.

"Nama lo siapa? Maaf ya, tapi gue nggak pernah liat wajah lo. Agak asing soalnya...."

Sudah biasa kok. Setiap bercengkerama dengan anak-anak SMA Nusa Bangsa, pasti mereka tidak mengenali Emilia.

Kinda pathetic.

"Aku Emilia, temennya Raline."

Kaleesha menganga kaget. Ekspresi yang sudah Emilia tebak, pasti akan muncul. Pasalnya, siapa yang tidak kenal Raline?

If I Lost My Serendipity | Jangkku ✦˚٭Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang