29. Askara Bhumi Laksamana

7.7K 696 66
                                    

Typo tandai!
Vote dulu sebelum membaca!!

ig wp : @caniasa_ne (jangan lupa follow)











Semenjak bangun dari tidur lelapnya beberapa saat yang lalu, bocah 13 tahun itu belum membuka suara barang sekata pun. Ia hanya merenung, melamun menatap keluar jendela kamar rawatnya yang langsung berhadapan dengan kawasan taman luas rumah sakit.

Sudah pagi, seingatnya masih malam. Ternyata dia tidak sadar selama itu ya?

Bocah itu bahkan tidak melihat ke orang-orang yang sejak tadi berusaha mengajak nya bicara.

Bukan apa, ia masih belum bisa mencerna ada apa yang sebenarnya terjadi.

Kenapa semua orang marah-marah? Kenapa mereka tidak memerlukan penjelasannya? Sebenarnya dia ini siapa?

Tamparan itu masih terasa, bahkan masih terekan jelas dikepala bagaimana orang yang sudah mmebuatnya begitu nyaman mengangkat tangan dan menyentuh pipinya dengan keras. Tidak seperti biasanya.

Bukan tamparan yang ia mau, kemana usapan lembut kemaren? Kenapa tangan itu juga menyakitinya? Apa ia begitu tidak pantasnya mendapat kebahagian?

Askara tidak marah, hanya kecewa.

Kecewa pada semesta yang seolah mempermainkan perasaanya. Setelah membuatnya merasa begitu bahagia, sekarang semesta membuatnya merasakan sakit-sesakit sakitnya.

Seperti dibawa terbang tinggi, lalu dihempaskan kedasar laut dengan tidak santainya.

Tidak salah kan kalau ia kecewa?

Tak sadar satu tetes air mata jatuh membasahi pipi tanpa rona itu. Tangan mungil yang tidak terpasang infus segera menghapus jejaknya.

Kara benci disini, kara benci rumah sakit.

Menatap nanar tangan kirinya yang terinfus, kemudian mengalihkan pandangan agar tidak kembali menangis.

Sebuah tangan lebar mendarat di pucuk kepalanya, mengelus lembut rambut halus miliknya

Kara menatap mata dengan netra yang sama dengannya itu, tapi dengan iris lebih gelap. Membuatnya terlihat lebih tajam dari milik kara.

"Adek..." Panggil gara pelan. Dari tadi kara tidak menyahut panggilan dan ucapannya. Adik kecilnya terlalu fokus dengan pikirannya sendiri.

"Ja-jangan sakit lagi.. kakak takut.." tambahnya dengan suara serak sedikit tercekat, melirih di akhir terdengar seperti berbisik. Kenapa kakak ketiganya itu terlihat ketakutan?

"Ka-kak" kara berusaha membuka suara. Tidak ingin melihat wajah khawatir yang terpancar jelas dari kedua kakak nya.

Gara mendongak, menatap dalan tepat pada mata sang adik, mencari sinar yang sempat redup, tapi ia tak kunjung mendapatkannya. Sinar itu masih redup, ia harus berusaha mengembalikan sinar itu lagi.

"Iya, hm?"

"Jangan takut, aka gapapa"

Gara terkekeh lirih "makanya adek jangan sakit, biar kakak gak takut" balasnya menatap sendu sang adik yang tampak sangat pucat

Kara mengangguk

Usapan dikepala itu terhenti, beralih mengusap pelan tangan yang terinfus "ini pasti sakit kan?"

Kara mengangguk lagi

"Kalau mau ini dilepas, adek harus makan. Mau kan?"

Kara terdiam.

"Kakak suapin" timpal dewa membuat kara menoleh kearahnya. Pasalnya dari tadi kakak keduanya itu hanya diam saja.

Dewa tersenyum lembut "mau kan?"

Askara Bhumi Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang