Paham?

5 1 0
                                    

Tring
Tring
Tring
Tring

"Eh! Budeg apa? Hp lu tuh bunyi!"

"Ck. Biarin, orang lagi makan juga."

Aku mengabaikan notifikasi ponsel yang cukup banyak. Pasti itu RC dari Laura karena ia akan mencari aku untuk meminjam buku kimia. Hari ini kan hari kamis pasti ia lupa lagi membawa buku paketnya. Ah, sesekali dia harus rasakan hukuman dari Pak Bambang.

Aku dan Alfred duduk lemas di kursi sambil memegang perut. Sepertinya aku sudah tidak sanggup untuk berdiri bahkan berbicara. Kami sudah menghabiskan 3 porsi nasi goreng karena tidak ingin melewatkan voucher makan gratis dari paman.

"Sumpahh, kayaknya perut gua mau pecah." Ungkap Alfred dengan nada lemah.

"Gua juga kayaknya nggak kuat lagi."

Tiba-tiba seorang pelayan menghampiri tempat duduk kami untuk mengangkat piring-piring dan gelas di atas meja.

"Permisi mas, mbak."

Aku dan Alfred mengangguk seadanya. Tak bisa menjawab ucapan pelayan dengan ramah.

"Em... Mbak, anu... Si bos tadi bilang, jangan lupa dipost foto-fotonya dan tag ke Ig warung ini ya mbak."

Benar sekali, aku lupa memosting foto-foto tadi. Untung pelayan ini ingatkan. Dengan sekuat tenaga aku mencoba duduk tegap dan meraih ponselku di meja. Aku tidak berniat untuk membuka RC. Yang aku lihat hanya angka 20 pesan masuk yang belum aku baca. Palingan itu Laura, sebaiknya aku post foto-foto yang diambil Alfred di akun Ig dan FB dulu. Supaya paman senang.

Hasil foto Alfred semuanya cantik. Ia seperti paham angel wajahku yang terlihat sempurna di kamera. Semua foto ini seperti memotret diriku dengan versi elegan dan sempurna. Untuk pertama kalinya aku memiliki foto yang sempurna saat menggunakan seragam. Nanti akan aku kirimkan salah satu foto ini kepada Fr. Nathan. Tanpa sadar aku tersenyum sambil melihat ponsel.

"Ihh, kenapa kau? Senyum-senyum sendiri seperti orang gila." Ekspresi Alfred terlihat seperti jijik dan menganggap aku benar-benar gila.

Aku tidak peduli apapun yang dia katakan, yang penting hari ini moodku sangat bagus. Walaupun terlambat, aku tetap diberikan keberuntungan. Heheheheheheh.

Tttrrrriiingggggggg

Ibuku ❤️ memanggil

Gawat, pasti ibu sudah tahu aku dan Alfred terlambat. Aku menepuk jidatku sendiri, mengutuk perbuatanku yang asal memosting foto di warung saat jam pelajaran. Aku menarik nafas dalam-dalam dan mengumpulkan keberanian mengangkat telepon dari Ibu.

"Hallo Ibu."

"Gea! Di mana kau sekarang? Kau bolos ya?! Ibu lihat kau memosting foto sedang berada di warung makan. Kau harus jujur pada ibu. Di mana kau sekarang."

"Ibu, tenang... Sabar, Gea akan jelaskan. Sebenarnya tadi aku dan Alfred terlambat."

"Apa? Itu kan, benar firasat ibu. Kalian pasti terlambat. Kasihan Alfred setiap hari harus menunggu kau yang bangun kesiangan! Ibu bangunkan kau berkali-kali tapi tidak ada jawaban! Kalau begini terus mau jadi apa kau!"

"Aku tahu Bu, aku yang salah. Tapi ibu  jangan sepenuhnya menyalahkan ku dong. Ibu akhir-akhir ini tidak pernah membangunkan aku! Ibu sudah tidak pernah pedulikan aku! Bahkan ayah tidak pernah mengajakku berbincang lagi seperti dulu!"

"Gea! Kau seharusnya mengakui kesalahan mu sendiri, memangnya ibu yang akan menggantikan mu pergi sekolah? Memangnya ayah yang harus selalu menunggumu untuk berbincang pagi sebelum sekolah? Modelan kau yang bangun kesiangan begitu? Kau mau ayah dipecat karena harus terlambat setiap hari menunggu berbincang denganmu?"

"IBU!! KENAPA SIH!! AKU..."

Alfred merebut ponsel dari tanganku dan mengakhiri telepon dari ibu. Ia melihat wajahku sangat merah dan penuh dengan amarah.

"Gea. Kau sadar tidak, hampir saja kau melukai hati ibumu. Kau tidak tau, mungkin jika kau melanjutkan perkataanmu tadi, ia akan mengingatnya seumur hidup." Ungkap Alfred sambil memakai tasnya dan mengambil helm yang diletakkan di bawah lantai.

Aku menarik nafas dalam-dalam. Berusaha untuk menenangkan amarah dan pikiran yang berapi-api. Benar kata Alfred, hampir saja aku menjadi anak durhaka. Jika aku melanjutkan perkataanku tadi, mungkin kata maaf pun tak cukup. Dan hal itu akan aku sesali seumur hidup.

Alfred mengantarku pulang. Selama perjalanan kami tidak berbicara sepatah katapun. Diam membisu. Hanya angin yang ribut meniup segala pikiran dan kecemasan ke dalam pikiranku. Tak terasa kami sudah sampai di rumahku. Alfred menghentikan motor dengan pelan. Ia mengeluarkan helmnya dan menatap mataku dalam-dalam.

"Gea, kau harus meminta maaf pada Ibumu. Setiap pagi aku mendengarnya berteriak memanggil namamu supaya kau bangun dan bersiap. Supaya hari ini tidak terjadi. Paham?"

Tanpa sadar setetes air mata jatuh di pipiku. Rasa penyesalan ini terasa sakit. Aku tidak pernah semarah ini pada ibu. Aku sudah berpikiran kerdil dan malah menyalahkan ibu. Padahal akulah yang lalai dan terlalu santai. Aku mengusap air mata dari pipiku seolah mengiyakan permintaan Alfred.

"Tidak apa-apa... Jangan ulangi lagi ya." Alfred mengelus rambutku.

Aku melangkah masuk ke dalam rumah dengan penuh rasa bersalah. Dari pintu rumah ini tercium aroma masakan telur balado ibu yang sangat lezat. Benar juga, aku pulang jam 10 pagi, ibu sedang menyiapkan makan siang untuk ayah. Saking sibuknya, ibu tidak menyadari kehadiranku. Aku melepaskan sepatu dan meletakkan tas sekolah di atas kursi meja makan. Pelan-pelan aku mendekati ibu dan langsung memeluknya dari belakang.

"Astaga!" Gea, kamu kenapa mengendap-endap masuk seperti pencuri sih? Kapan kau datang? Ibu sampai kaget kau tiba-tiba memeluk." Ungkap ibu yang sedikit kesal karena tingkahku.

Aku tidak menjawab pernyataan Ibu. Aku hanya terdiam merenungi kata-kata kasar yang aku ucapkan pada ibu. Semua itu membuatku menyalahkan diriku sendiri. Tapi sekarang yang pasti aku tidak ingin melepaskan pelukan ini.

"Sayang, Gea... Ada apa? Kenapa wajahmu sedih seperti itu?" Ungkap Ibu sambil mencoba melepaskan pelukanku dan menatapku dalam-dalam.

Aku hanya menundukkan kepala, tak berani mengangkat wajah. Aku semakin merasa bersalah ketika ibu bersikap seperti ini. Seolah tidak ada yang terjadi dan ia telah memaafkan semua kesalahanku. Ibuku sempurna dan baik seperti ini seharusnya tidak pantas aku mengatainya.

"Ibu... Gea minta maaf."

Ibu mengangkat daguku dengan tangan kanannya. Seolah memintaku untuk menatap matanya. Aku melihat mata yang sejak kecil menemaniku tumbuh menjadi Gea yang sangat dicintai. Ibu tersenyum tulus kepadaku dan langsung memelukku erat. Ia mengelus rambutku lalu mengecup keningku. Kurasa permintaan maafku telah diterima.

PERCAYA ITU PENJARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang