BAB 4

1K 20 0
                                    

Setelah menaruh tasnya di ruangan tadi, Ruby di ajak Daffa untuk kembali ke gudang, memulai pekerjaannya di hari pertama

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Setelah menaruh tasnya di ruangan tadi, Ruby di ajak Daffa untuk kembali ke gudang, memulai pekerjaannya di hari pertama. Tentu, Ruby dengan penuh semangat mengikuti Daffa. Laki-laki itu mengajaknya berkeliling gudang terlebih dahulu. Daffa mengenalkan beberapa barang yang mengisi gudang itu.

Berdasarkan informasi dari Daffa, sekali seminggu mereka rutin menerima barang baru dari pabrik, barang yang di terima sudah dalam keadaan di bungkus dalam dus. Jadi, mereka tidak perlu mengecek produknya satu-satu karena sebelum keluar dari pabrik tempat produknya di buat, produknya sudah melewati proses kontrol dari pegawai yang bekerja di sana. Alasan kenapa semua produk di oper ke gudang terlebih dahulu karena terdapat beberapa pabrik tempat produksi. Semuanya di kumpulkan di gudang agar memudahkan dalam mengirim ke klien yang bekerja sama.

“Saat barang datang dari pabrik, tugas kita mengecek ulang apakah barang yang datang sesuai yang jumlah yang tertera di surat jalan atau tidak. Dan pastikan semuanya terbungkus dengan aman dalam dus, tanpa ada yang cacat” jelas Daffa, sembari melangkah mengelilingi gudang.

Ruby mengangguk mengerti. “Jika tidak sesuai bagaimana?”

Daffa menghentikan langkahnya, menoleh ke arah Ruby yang berada di sampingnya. “Konfirmasi kembali ke pabrik yang mengirimkan barang, tapi jarang sekali, bahkan tidak pernah ada barang yang kurang. Dari pabrik sudah di cek juga, jadi mustahil ada barang yang kurang, tapi tidak menutup kemungkinan itu akan terjadi nantinya. Jika kau menemukan kasus seperti itu, bilang saja padaku”

Ruby mengangguk, paham dengan penjelasan dari Daffa.

“Kau sudah punya pacar, Ruby?”

“Hah?” Ruby menatap Daffa dengan tatapan bingung. “Apa yang bekerja di sini tidak boleh berpacaran?”

Daffa tergelak, Ruby terlalu polos sekali. Daffa mengibaskan tangannya di udara. “Tidak ada larangan untuk berpacaran di sini, kau bebas berpacaran jika memang ingin. Aku bertanya karena alasan pribadi saja”

Ruby mangut-mangut. “Aku tidak punya pacar”

Daffa tersenyum. “Bagus. Berarti aku bisa mendaftar menjadi pacarmu”

Ruby menanggapi ucapan Daffa dengan sebuah senyuman malu. Jelas sekali bukan laki-laki itu tertarik padanya? Apa sudah saatnya Ruby menemukan pujaan hatinya?

Daffa kembali melanjutkan langkah, kali ini dia menuju ke arah meja yang berada di sudut gudang, meja yang tadi. “Tour kali ini sudah selesai, aku harap kau mengerti dengan mekanismenya”

Ruby mengangguk. “Jika ada yang belum aku tahu. Apa aku boleh bertanya?”

Daffa tertawa kecil. “Tentu saja. Aku siap menjawab semua pertanyaanmu. Oh, iya” Daffa beralih menatap ke arah Melly yang sedang duduk di kursinya. “Ini Melly, dia akan menjadi rekan kerjamu juga”

Ruby menatap Melly sambil tersenyum, mengulurkan tangannya untuk memperkenalkan diri. “Aku Ruby”

Melly menjabat tangan Ruby. “Aku Melly” jawabnya ramah. Namun, senyuman ramah itu tidak bertahan lama, hanya beberapa detik saja, setelahnya tergantikan dengan wajah datar.

Ruby menganggukkan kepalanya, jabatan tangan mereka sudah terlepas, hanya jabat tangan singkat, sesingkat senyuman Melly padanya.

“Selain mengontrol keluar masuk barang, kau juga akan membuat surat jalan dan dokumen pendukung lainnya. Untuk lebih jelasnya nanti kau bisa bertanya kepada Melly atau pun padaku. Kepada yang nyaman menurutmu saja” jelas Daffa, menatap Ruby.

Jika dilihat-lihat, Daffa tampak sangat ramah, senyuman tidak pernah luntur dari wajahnya. Bahkan, bukan hanya pada Ruby, Daffa juga begitu kepada Melly. Laki-laki itu sering melakukan gerakan yang menyentuh tubuh lawan bicaranya, seperti menepuk bahu.

“Selain kita bertiga, ada beberapa pegawai yang bekerja di gudang juga. Mereka biasanya bertugas mengangkat barang, seperti yang kau lihat tadi pagi. Untuk mengurus dokumen hanya kita bertiga saja” Daffa kembali menerangkan yang di balas dengan anggukkan oleh Ruby. Pegawai lain yang dimaksud Daffa pasti lima orang laki-laki yang tadi mengangkat barang ke mobil.

Daffa mendekatkan wajahnya ke Ruby, membuat perempuan itu sedikit memundurkan kepalanya. “Sangat jarang perusahaan memperkerjakan pegawai perempuan di gudang. Jadi, maklum saja jika hanya kalian berdua di sini”

Ruby tersenyum canggung, mengangguk kepalanya lagi.

Daffa menjauhkan wajahnya. “Anggap aku sebagai teman biasa saja. Kau tidak perlu canggung begitu”

*****

“Bagaimana dengan pekerjaan barumu?” tanya Agnes, menatap Ruby yang duduk di sebelahnya.

Saat ini, mereka sedang menikmati makan malam, ayam goreng yang di pesan oleh Agnes beberapa menit yang lalu. Mereka duduk di sofa ruang tamu, tempat di mana mereka selalu menghabiskan waktu bersama, makan, mengobrol. Semuanya mereka lakukan di sofa ini. Mereka akan ke kamar ketika akan tidur saja, di kamar pun mereka masih tidur bersama. Every time, every where, together. Sejenis seperti itulah.

Ruby mengangkat bahunya, mulutnya sibuk menggigit paha ayam goreng. “Tidak ada yang istimewa, tapi aku bekerja dengan satu orang laki-laki dan satu orang perempuan”

“Mereka baik padamu?” tanya Agnes lagi.

Ruby menaruh tulang ayamnya di atas meja, di tempat di mana banyak tulang berkumpul di sana. Ruby menganggukkan kepalanya. “Baik. Hanya saja yang perempuan, namanya Melly. Dia terlihat tidak suka denganku, tiap kali berbicara denganku wajahnya terlihat kurang enak di lihat, tapi saat berbicara dengan Daffa dia sangat manis sekali”

Ruby sempat memperhatikan interaksi antara Melly dan Daffa, dua orang itu tampak begitu sangat akrab. Melly selalu tersenyum hangat ketika berbicara dengan Daffa, sementara dengan dirinya, Melly sangat judes, dan tersenyum tipis jika ada Daffa di dekat mereka. Perbedaannya terlalu jelas, semua orang juga bisa langsung tahu jika Melly tidak menyukainya.

“Daffa siapa?” tanya Elsa sambil memakan ayam miliknya. “Laki-laki yang jadi rekan kerjamu?”

Ruby mengangguk. “Iya, dia yang menjelaskan semuanya padaku. Aku pernah bertanya pada Melly, dan dia menjawab seadanya saja”

Ruby pernah sekali bertanya kepada Melly bagaimana dengan pembuatan surat jalan dan sebagainya, Melly menjelaskannya pada Ruby, tapi dengan caranya yang kurang mengenakkan menurut Ruby. Melly menjelaskan dengan wajah yang tampak ogah-ogahan.

Kau perhatikan saja contoh surat jalan yang lainnya”

Seperti itulah yang Melly katakan setiap kali Ruby bertanya. Pada akhirnya Ruby memilih bertanya kepada Daffa, laki-laki itu menjelaskannya lebih baik, dan sangat detail. Nada bicaranya juga sangat lembut, enak di dengar di telinga Ruby, menjelaskan sampai Ruby benar-benar paham.

“Dia merasa tersaingi denganmu, Ruby. Jangan pedulikan orang seperti itu. Kau tidak butuh orang seperti Melly itu” ucap Elsa.

Ruby mengangguk, tangannya bergerak mengambil minuman miliknya, meneguknya sampai habis setengah. “Aku tidak peduli, tujuanku ke sana untuk bekerja. Aku juga tidak bisa membuat semua orang menyukaiku”

“Nah, itu baru Ruby yang aku kenal” Agnes menunjuk Ruby sejenak. “Jangan takut dengan orang seperti itu”

Ruby mengangguk lagi, tatapannya beralih ke arah ponselnya yang berbunyi. Dengan malas, Ruby mengambil ponselnya yang berada di sampingnya, memeriksa pesan yang baru masuk. Ruby membaca pesan dari Daffa, mereka sempat bertukar nomor telepon tadi.

Daffa
Selamat malam, Ruby

Ruby menutup kembali ponselnya, sedang tidak berminat membalas pesan ucapan selamat malam dari Daffa. Hanya pesan basa-basi untuk mulai melakukan pendekatan. Ruby sedang tidak ingin dekat dengan seseorang, apalagi mereka bekerja di lingkungan yang sama. Rasanya nanti pasti akan sangat tidak menyenangkan. Mereka akan kesulitan memisahkan antara urusan pekerjaan dengan urusan pribadi.

“Kau jadi keluar malam ini?” tanya Elsa, menatap Agnes yang beranjak dari sofa, hendak menuju dapur.

“Tidak, aku sedang malas” jawab Agnes, melangkahkan kakinya ke dapur. Tidak berapa lama, Agnes kembali lagi dengan membawa teko berisi air putih, menaruhnya di atas meja.

“Kenapa?” kali ini Ruby yang bertanya. “Bukankah kau akan bertemu pacarmu?”

“Aku sedang bosan dengannya” keluh Agnes. Perempuan itu sangat mudah merasa bosan dengan pasangannya, dia hanya bisa bertahan beberapa bulan saja. Belum ada hubungan Agnes yang berjalan satu tahun, bertahan setengah tahun saja sudah bersyukur. “Aku ingin merasakan pusaka yang lain” Agnes beralih menatap Ruby. “Aku sepertinya ingin mencoba laki-laki yang waktu itu Ruby. Siapa namanya?”

Ruby tampak berpikir. “Laki-laki yang mana?” tanyanya bingung. Menanyakan laki-laki kepada Ruby adalah hal yang aneh, karena perempuan itu tidak begitu mengenal laki-laki, berbeda dengan Agnes yang hampir semua laki-laki di bar dia kenal.

“Yang waktu itu kau ajak ke hotel” beri tahu Elsa, paham siapa orang yang di maksud oleh Agnes.

“Oh, itu” seru Ruby. “Namanya kalau tidak salah” Ruby mencoba mengingat lagi, sudah lumayan lama, dan dia hampir lupa dengan nama laki-laki itu. “Chris?” jawabnya, sedikit ragu.

“Ah, iya, Chris” Agnes menjentikkan jemarinya. “Aku ingin mencobanya. Sayang sekali kau tidak meminta nomornya” Agnes mendesah kecewa. Andai Ruby meminta nomornya, mungkin Agnes akan mengajak Chris untuk bertemu dan menghabiskan waktu bersama.

Ruby memutar bola matanya. Dia berhasil keluar kamar dengan aman saja sudah bersyukur. “Aku bisa meminta nomornya jika aku tidur dengannya dulu”

“Harusnya kau melakukan itu. Habis itu berbagi dengan kami”

Ruby menatap Agnes datar, orang yang di tatap hanya tertawa saja. “Aku sangat takut padanya, Agnes. Kau pikir saja. Bagaimana bisa benda sebesar itu memasukiku”

“Bisa, Ruby. Harusnya kau berani mencoba”

Ruby menggeleng kuat. “Tidak. Aku tidak akan mencobanya”

“Kapan lagi kau akan mencobanya. Sekarang umurmu sudah 25 tahun, Ruby. Kau akan tetap perawan selamanya?” tanya Elsa, perempuan itu berpindah duduk ke sebelah Ruby. Tadinya dia duduk di lantai, menikmati ayam goreng yang ada di meja.

“Kau ingin aku mengenalkanmu dengan laki-laki yang ahli? Dia pasti bisa membuatmu nyaman”

Ruby menatap Agnes dengan tatapan ngeri. “Aku tidak mau. Berhenti membahasku”

Ruby menutup telinganya. Kedua temannya itu kembali menyuruhnya untuk mencoba sekali saja tidur dengan seseorang. Selama ini Ruby mempertahankan keperawanannya bukan karena ingin, tapi dia memiliki ketakutan yang berlebihan, takut jika merasakan sakit untuk pertama kalinya. Mendengar cerita perempuan-perempuan di sekitarnya, rata-rata mereka kesakitan di pengalaman pertama mereka.

Bukannya tidak ada laki-laki yang mendekati Ruby, tapi perempuan itu saja yang tidak mau membuka diri. Berkali-kali Agnes dan Elsa mencoba mengenalkan Ruby dengan laki-laki, tetap saja tidak berhasil. Karena, setiap kali di ajak melakukan hubungan seksual, Ruby selalu menolak, dan laki-laki itu memilih meninggalkan Ruby. Hal itu membuat Ruby takut menjalin hubungan, dia tahu ujungnya akan ditinggalkan jika tidak mengikuti kemauan pasangannya.

“Kau coba sekali, sisanya kau yang akan ketagihan” Elsa masih membujuk Ruby.

“Aku benar-benar belum siap” Ruby sangat serius dengan ucapannya, dia belum siap untuk menerima sakit di pengalaman pertamanya.

Agnes mendesah pasrah. “Kabari aku saat kau siap, biar aku yang mencarikan laki-laki yang berpengalaman untukmu”

Ruby menggeleng lagi. “Aku akan melakukannya nanti dengan laki-laki yang aku cintai”

“Cari laki-lakinya jika kau mau begitu, Ruby. Dekat dengan laki-laki saja kau tidak mau lagi semenjak di campakkan Vino” celetuk Elsa.

Benar, Ruby tidak pernah dekat dengan laki-laki lain lagi semenjak dicampakkan Vino dengan kata-kata menyakitkannya. Laki-laki itu memutuskan hubungan dengannya, mengatai Ruby perempuan aneh, dan tidak memiliki hasrat seksual. Padahal aslinya Ruby juga memiliki hasrat, hanya saja takut mencoba untuk pertama kali. Balik lagi ke pembahasan awal, dia takut merasakan sakit di pengalaman pertama. Jadi, jika Ruby tidak berani mencoba, maka selamanya dia akan begitu, tidak akan mencobanya sampai kapan pun.

“Aku akan mencari laki-laki yang cocok menurutku, yang pasti bukan seperti Vino” ucap Ruby yakin.

“Jangan sampai kau dapat laki-laki brengsek seperti Vino lagi. Dia mendekatimu hanya karena ingin menidurimu, bukan karena bersungguh-sungguh mencintaimu” ucap Agnes. Dia tidak setuju saat Ruby memberitahu mereka jika tengah dekat dengan Vino. Agnes cukup tahu bagaimana sifat Vino aslinya, laki-laki itu hanya mendekati perempuan untuk dia tiduri, setelahnya akan dia tinggalkan. Jadi, mau kau tidur dengannya atau tidak, ujungnya akan tetap di tinggalkan.

Ruby mengangguk. “Untuk itu aku akan mencari laki-laki yang benar mencintaiku, bukan hanya karena ingin tidur denganku”

“Walaupun ada laki-laki yang mencintaimu, dia pasti juga ingin tidur denganmu. Kau sangat tahu jika tujuan dari pacaran, ya, seks, tidak ada yang hanya sekedar status saja, Ruby” beri tahu Elsa.

Ruby berpikir sejenak, ujungnya tetap akan ke arah sana. “Aku melajang saja selamanya”

Ruby menerima dua pukulan di kepalanya, kedua temannya itu serentak mengetuk kepala Ruby, membuat perempuan itu mengaduh. Agnes dan Elsa menatap Ruby horor, seakan kata-kata itu tidak boleh diucapkan.

Ruby menyengir, sadar dengan ucapannya barusan. “Aku hanya bercanda”

“Ucapanmu akan menjadi doa, Ruby” peringat Elsa.

*****

Oh, My Boss!!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang