18.Riona

56 10 0
                                    

RIONA POV

Ini sebuah pengalaman tergila untukku.  dari Swiss menuju Brazil hanya untuk acara  pesta. Tapi seberapa banyak pemikiran dalam kepalaku, aku tidak sampai ingin menyuarakannya pada Arsenio yang tengah terdiam bersama dengan Earpiece ditelinganya dan tablet menyala ditangannya. Pria itu seolah seperti tengah menyimak sesuatu yang penting.

"Riona jika kamu lapar, katakan pada pramugarinya, dia akan membawakan apapun yang kamu minta!!"jelas Frederic sopan lalu dia juga kembali fokus menyimak.

Jujur aku tidak lapar, sama sekali, aku hanya tidak mengerti bagaimana cara Arsenio bekerja, dalam bidang apa aku belum tau.

Ini lebih dari sekedar mewah, jet pribadinya saja dilapisi oleh emas, dan terlihat begitu berkilau dari segala sudut.

Aku tidak terlahir miskin, aku kaya. Tapi aku bisa merasakan bahwa Arsenio adalah perbedaan nyata dalam kehidupan papaku, dia seolah tidak berseri.

Memperhatikan Arsenio yang tengah fokus bekerja membuat degupan aneh di jantungku, pria yang tidak pernah kulihat bekerja saat dirumah, dia seketika menjadi sosok yang berbeda, bahkan penampilannya begitu menawan dengan balutan Tuxedo modern seolah dibuat khusus, yang melekat pada setiap otot dan bergerak seolah-olah itu adalah bagian dari dirinya. Aroma maskulinnya yang panas memenuhi seluruh bagian pesawat, dan aku menghirupnya dengan suka cita tentu saja.

Sementara Frederic. Pria itu masihlah berpakaian dengan mode kuno meskipun aku tau itu sama mahalnya.

Sejujurnya, aku berharap dia menatapku sehingga aku bisa menatapnya tanpa merasa seperti orang aneh yang kagum sendirian.

Aku tahu aku sedang berusaha memainkan permainan yang berbahaya dengan setuju untuk menjadi teman kencannya dalam hal ini.

Niat awal Aku bekerja untuk Arsenio hanya karena Kami kehilangan sumberdaya keuangan yang nyata dari papa, mencoba bertahan hidup dengan bekerja seperti ini, tetapi sejak pertemuan Erotis digudang, aku tidak dapat memikirkan apa pun selain cara mata Ebony nya itu seolah melahapku di kolam dan perasaan terhadap tubuhku saat dia menggendongku ke sauna. Huffft benar-benar mendebarkan.

Aku tak bisa lagi menyangkal ketertarikan ku pada pria tampan dan dingin ini. Aku merindukan Arsenio secara sadar saat dia pergi, dan aku bahkan menantikan interaksi kecil kami setiap hari daripada yang seharusnya. Sepertinya ajaran Mama tentang tarik ulur pada pria ini adalah kekalahan, aku kalah karena sudah terpikat sejak awal. Begitulah—

Malam ini seolah malah memperburuk keadaan. Dia membuatku merasa cantik dan penting, yang mana konyol sekaligus berbahaya untukku pribadi.

Dia layaknya pria mapan yang digandrungi jutaan Hawa dibumi. Sementara aku—aku hanya remahan roti yang tersingkirkan saat dia melahap roti mewahnya. Yang terbaik dari yang bisa kuharapkan adalah rasa kasihan, dan aku merasa gadis seperti itu, dia tidak memiliki pilihan saat ini kecuali Aku. Poor Riona.

Perjalan Menuju Brazil pun sampai dengan baik–dan mobil Limousine mewahnya membawa kami dengan tenang.

Saat kami tiba di depan sebuah bangunan Resort klasik lainnya yang tidak jauh berbeda dengan Mansion Arsenio dengan luas halaman yang begitu cantik, dan lampu-lampu kecil yang menyoroti jalan begitu terlihat indah dan mewah.

Tapi kini aku sudah memutuskan untuk membangun tembok di sekeliling hatiku dan berhenti memikirkan ide konyol bahwa Arsenio mungkin benar-benar tertarik padaku. Dia tidak mungkin—hanya pengalih perhatian yang menawan yang bisa membuatku kehilangan segalanya jika aku tidak berhati-hati.

Namun kemudian dia datang untuk membukakan pintu, dan saat aku menjabat tangannya, kembali percikan-percikan kecil itu muncul di lenganku.

Aku sedikit tersentak kecil tak kala dia meletakkan tangannya di sepanjang kulit punggungku yang terbuka. Tubuhku terbakar saat dia menyentuhku, dan panas menjalar ke inti tubuhku. Lututku sedikit gemetar, dan aku mulai merasa pusing saat dia menuntunku ke lobi bangunan.

White Goddess adalah bangunan bata merah besar yang menjulang di sudut dua jalan yang dipenuhi pepohonan. Setiap garis atap resor menjorok keluar seperti menara di atas lereng bukit yang tertutup dedaunan — bangunan tersebut menciptakan semacam benteng di sekeliling halaman bata besar di dalamnya.

Musik jazz lembut mengalun di atas kepala kami saat Arsenio mengantarku masuk, dan detik itu juga, aku merasa kewalahan.

Lobi dipenuhi orang-orang berpenampilan mewah dalam gaun malam dan Tuxedo — masing-masing dari mereka tampak lebih kaya dan lebih penting daripada yang sebelumnya.

Beberapa kepala menoleh menatap Arsenio dengan tegang saat kami menerobos kerumunan, dan beberapa tatapan mata laki-laki di sana benar-benar tertuju padaku. Ini sungguh, aku tidak sedang sok kecantikan—

Napasku tercekat di dadaku saat kurasakan Arsenio melingkarkan lengannya di pinggangku, menarikku lebih dekat hingga pinggangku menyentuh kakinya. Aku bisa merasakan panas yang keluar dari tubuhnya, dan saat tangannya bergerak turun untuk menutupi pinggulku, aku merasakan aliran air di antara kedua kakiku.

Sekian resolusi baruku.

Arsenio menuntunku ke bar, memesan Gin untuk dirinya sendiri dan Hurricane yang sangat enak untukku.

Dia menyerahkan minumanku dan membawaku ke sudut, melindungiku dengan tubuhnya seolah-olah dia takut seseorang akan mencoba membunuhku.

"Semua orang menatap kita," bisikku sambil mencengkeram lengan jasnya untuk mendapatkan daya ungkit saat aku berjinjit untuk menyampaikan pesanku.

"Hm," jawabnya, suaranya rendah dan kaku saat dia mengamati kerumunan.

"Yang Mulia–!"terdengar suara laki-laki keras dari seberang ruangan.

Arsenio menoleh cepat untuk menghadapi lelaki itu — lelaki bertatto diwajahnya, mengenakan Tuxedo yang senada dengan kumis abu-abu menjijikkannya — dan aku bersumpah aku mendengar geraman pelan dari tenggorokannya.

"Tidak menyangka anda akan datang malam ini," lelaki itu setengah berucap sopan saat dia datang ke arah kami, membungkuk badannya kearah Arsenio.

"Ya."jawab singkat Arsenio terlihat dingin

"Jujur saja, saya tidak menyangka Anda akan tampil menawan disini."

Arsenio tidak menanggapi, tetapi rahangnya menegang saat ia menatap pria itu.

"Dan Anda juga membawa wanita muda yang cantik ini bersama Anda," lanjut pria itu,

SIALAN! tatapannya turun ke dadaku dengan cara yang sama sekali tidak halus.

"Hm," gerutu Arsenio, yang tiba-tiba bergeser ke samping untuk menghalangiku dari tatapan mesum pria itu. "Dia bersamaku."

Rasa panas menjalar ke seluruh tubuhku mendengar kata-kata itu, meski aku yakin dia mengatakannya hanya untuk mengusir orang menjijikkan itu.

Berhasil. Saya tidak melihat apa yang terjadi selanjutnya, tetapi dua detik kemudian, pria keparat itu berbalik dan berjalan menjauh, wajahnya merah dan seolah takut.

"Mari," gerutu Arsenio, kembali memegang pinggangku dan mengarahkan ku ke ruang dansa utama.

Para tamu mulai berdatangan, tetapi mereka semua memberi kami jarak yang cukup jauh saat Arsenio menuntunku melewati pintu.

Aroma parfum mahal menggelitik hidungku dengan baik saat kami memasuki ruang dansa.

Meja bundar yang dibalut kain linen putih menempati hampir separuh ruangan; yang lain diperuntukkan untuk lantai dansa, tempat orkestra beranggotakan lima orang bermain.

Lampu kristal berkilau menghiasi langit-langit, dan pelayan berseragam putih berkeliling sambil membawa nampan berisi sampanye.

Aku berharap Arsenio akan menuju salah satu meja di sudut, tetapi dia malah menarikku ke lantai dansa.

Jantungku berdebar kencang saat dia memutar tubuhku menghadapnya dan meraih tanganku, menarikku dengan lembut agar lebih dekat.

GodDammit.

Biasain tinggali Vote/Comment boleh dong ya Cinta💙🖤♥️

ALPHA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang