Echoes of Fame (2)

124 17 5
                                    

Pagi kembali datang dengan langit yang jernih, seolah semesta memberi jeda sebelum badai kembali melanda. Jiwon melangkah ke lokasi syuting dengan wajah tenang, meski di dalam dadanya masih tertinggal jejak pelukan semalam. Kehangatan itu menjadi mantel tak kasatmata yang membungkus setiap langkahnya-lembut, namun menguatkan.

Hari itu mereka akan merekam adegan emosional: perpisahan. Dalam naskah, karakternya dan Minjae harus menjalani momen penuh luka-berdiri di tengah hujan buatan, saling melepaskan satu sama lain. Tapi yang tidak tertulis di skenario adalah tatapan Minjae yang makin hari semakin sulit didefinisikan.

Ia terlalu dalam. Terlalu sadar. Terlalu ambigu.

Saat break makan siang, Minjae menghampiri Jiwon yang sedang duduk di pojok ruang istirahat, membuka bekalnya yang dikirimkan manajer.

"Kau masih suka makan toppokki dan telur rebus setengah matang?"

Jiwon menoleh, sedikit bingung.

"Dulu kau pernah bilang begitu di sebuah variety show, beberapa tahun lalu," sambung Minjae sambil meletakkan dua botol minuman di meja. "Aku ingat karena aku juga suka yang pedas."

Jiwon tersenyum tipis. "Terima kasih, tapi aku sudah cukup membawa bekal sendiri."

Minjae duduk di kursi seberang. Ia tak makan, hanya menatap. Sorot matanya menelusuri wajah Jiwon seperti tengah membaca sesuatu yang tak terucap.

"Terkadang aku bertanya-tanya, bagaimana jika kita bertemu di waktu yang berbeda," ucapnya lirih, nyaris seperti gumaman. "Saat kau belum menikah, mungkin. Saat aku belum terlalu sibuk untuk menyadari ada bidadari sepertimu di negara ini."

Jiwon menegakkan tubuhnya. "Tapi waktu tidak pernah keliru, Sunbaenim. Kita ada di posisi yang seharusnya."

Minjae terkekeh pelan, tapi tatapannya tetap tidak bergeser. "Mungkin. Tapi kadang aku pikir... beberapa pintu harusnya tidak pernah tertutup."

Ucapan itu menggantung di udara seperti kabut tipis. Tak menusuk langsung, tapi mengaburkan batas antara profesional dan pribadi.

Sore harinya, ketika mereka kembali merekam adegan, Jiwon merasa tubuhnya lebih kaku dari biasanya. Apalagi saat Minjae tiba-tiba menyentuh lengannya di luar naskah, mengusak pangkal rambutnya ketika adegan bercanda. Sentuhan yang bisa dibilang biasa, tapi caranya terlalu hati-hati-seperti alasan untuk menyentuh lebih lama.

Dan Jiwon menyadarinya.

Malamnya, kembali di kamar hotel, Jiwon duduk dengan buku kecil di pangkuannya. Buku yang awalnya hanya digunakan untuk mencatat blocking dan revisi naskah, kini dipenuhi tulisan tangan:

"Aku tahu batas ini. Tapi mengapa aku merasa dia terus mencoba mengaburkannya?"

"Aku percaya pada diriku. Tapi kenapa bagian dari diriku merasa perlu menuliskannya? Mungkin karena menulis membuatku sadar aku belum gila."

Ia menutup bukunya perlahan, lalu mengambil ponsel. Mengirim pesan kepada suaminya,

"Hari ini aman. Tapi rasanya semakin samar."

Yeobo: "Kalau cahayamu meredup, aku akan jadi lentera. Kalau kau lelah, aku jadi tempat rebah."

Jiwon membalas dengan foto langit malam dari jendela kamarnya. Langitnya gelap. Tapi ada satu bintang.

Dan ia tahu, Jiyong adalah titik terang itu.

*

Jiwon selalu punya cara untuk mengatur emosinya. Ia dikenal profesional, tidak mudah terbawa suasana. Tapi hari itu, langkahnya terasa berat. Bukan karena skrip yang rumit, bukan karena cuaca yang terlalu panas. Tapi karena sesuatu dalam dirinya mulai mengabur. Batas yang semula ia jaga kini seperti bayangan di atas air-terlihat, tapi tak bisa dipegang.

I'm Yours #2 {G-Dragon X Kim Jiwon}Donde viven las historias. Descúbrelo ahora