Berakhir

2.9K 225 38
                                    

Pikiranku begitu kalut. Nafasku begitu memburu dan terasa berat. Tubuhku bergetar. Bukan. Bukan karena takut, tapi amarah, emosi, dan hasrat. Semua ini begitu besar. Hasrat ingin mengoyak dan merobek kulitnya dengan liar. Aku tak bisa menahannya. Hasrat ini seakan mencekikku jika aku tak segera melaksanakannya. Ya, aku akan melakukannya. Aku akan melaksanakannya. Detik ini juga.

Tanpa ku sadari kakiku sudah berjalan di tanah yang becek dengan tetesan hujan yang masih mendera dengan hebat. Suara petir itu tidak terdengar menakutkan sedikit pun. Tekadku sudah bulat. Aku akan benar-benar membunuhnya. Membuat darahnya mengalir deras, menyobek kulitnya, membuat luka di seluruh bagian tubuhnya. Risu. Ia telah mengambil Ken.

Aku terus berjalan. Aku takkan berhenti hingga menemukannya. Menemukan bajingan sialan itu. Rasanya belati ini tidak cukup untuk membuatnya menderita. Tidak cukup untuk menggambarkan seberapa besar amarahku, seberapa kejam kutukanku padanya. Aku ingin membuat tulangnya retak. Tidak, maksudku patah. Bukan, aku ingin tulangnya hancur tak bersisa. Aku ingin menginjak-injak organnya. Arghhh!!!!!

"Dimana ini?" tanyaku sambil menunjukkan secarik kertas di dalam plastik pada salah seorang penduduk yang sedang duduk menatap hujan. Kertas bertuliskan alamat bajingan itu.

Ia—seorang ibu muda—memandangiku dengan tatapan aneh dan takut. Mengingat penampilanku yang acak-acakan dengan belati di tanganku.

Dengan cepat ku todongkan belatiku pada lehernya.

"Aku tak keberatan jika kau ingin menjadi relawan korban pertama belati ini. Darahmu akan tersamarkan oleh hujan," ucapku dingin.

Matanya terbelalak. Aku bisa mengetahui ia sedang ketakutan. Dengan tangannya yang bergetar, ia menunjuk sebuah gedung berwarna putih yang terlihat seperti pabrik.

"D-di.. balik gedung itu. Kau akan sampai setelah melewati hutan kecil setelahnya."

"Terima kasih." Tak mau membuang waktuku lebih lama, aku berlari menembus hujan. Kilatan-kilatan itu berangsur menghilang. Telingaku tak lagi mendengar petir yang dari tadi menggelegar di langit. Namun aku tak merasa titik-titik hujan itu mereda.

Suara cipratan air mewarnai langkahku. Seluruh tubuhku telah basah oleh air hujan. Ku tatap jemari tanganku yang sudah menunjukkan kerutan tanda mereka kedinginan. Tidak, itu hanya tandanya. Tapi aku tidak benar-benar merasa kedinginan. Hatiku terasa panas, dadaku terasa sesak. Ya, nafsu untuk membunuh lebih menguasaiku kini.

Aku terus berlari dan berlari. Aku akan membunuhnya. Hari ini juga aku harus melihatnya mati.

Hujan itu perlahan mereda dan titik-titik airnya menjadi kecil. Pemandangan yang ada di hadapanku kini mulai berubah dengan manusia yang membawa payung berwarna-warni. Pandangan-pandangan sinis mulai mereka lontarkan padaku. Ah, persetan dengan mereka semua. Hidupku memang selalu seperti ini sejak dulu. Direndahkan tanpa ada alasan yang jelas. Kini hal itu tak memberikan efek apapun. Bahkan mungkin aku akan merindukannya saat pandangan-pandangan itu tak ada.

"Lihatlah, apa yang gadis itu lakukan? Berlarian di tengah hujan sambil membawa belati?"

"Sepertinya ia bukan orang sini."

"Mungkin ia akan membunuh seseorang?"

"Ssstt. Kecilkan suaramu atau kau yang akan dibunuhnya."

Seperti itu lah kira-kira yang mereka katakan. Sebenarnya mereka ini takut atau sedang merendahkanku?

Sekali lagi, aku tak ambil pusing. Aku terus berlari hingga akhirnya melewati gedung putih itu dan mulai memasuki kawasan hutan dimana aku hanya bisa memandang semak belukar dan pepohonan yang basah terkena hujan. Bau tanah yang basah menyeruak masuk ke dalam indra penciumanku.

MineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang