Bagian Lima: Short Glance From Her

122 9 9
                                        

Tidak banyak yang berubah semenjak 'perjanjian'-ku dengan Anne di Louie's Cafe kemarin. Dia mengajakku mengobrol tentang seni rupa dan aku menanggapi sedikit demi sedikit. Rhonda, salah satu gadis populer yang duduk di depanku bahkan sempat heran melihatku banyak bicara. "Kurasa 'penyakit diam'-mu sudah hilang, ya, Will?" tanyanya sambil terkekeh geli. Aku hanya mengedikkan bahu mendengarnya. Aku-yang-tak-pernah-bicara-dan-selalu-murung, itu dulu. Sekarang aku adalah Willy yang baru. Tampaknya begitu.

Mrs. Lynch, yang sering dijuluki murid-murid dengan sebutan 'Donat Hidup' karena tubuhnya yang sangat gemuk dan parfum-nya yang beraroma selai stroberi, sibuk menjelaskan materi sains hari ini dengan penuh semangat. Para gadis populer di kelasku berbisik-bisik tentang guru itu yang katanya baru mendapat pacar baru untuk diajak kencan. Ujung-ujungnya, mereka ketahuan dan akhirnya diberi tugas parah.

Aku melayangkan pandangan pada jendela di sebelah kanan kelas, menopang daguku dengan telapak tangan kiri. Hari ini cerah berawan. Sang Surya bermain petak umpet di balik awan putih yang bergumpal-gumpal bagaikan permen kapas. Di sampingku, Anne tergelak-gelak melihat ekspresi Rhonda dan teman-temannya yang super-terkejut saat diberi tugas oleh Mrs. Lynch. Jarum panjang di jam dinding sebentar lagi mencapai angka dua belas. Hanya perlu menghitung mundur sampai akhirnya bel istirahat berbunyi.

"Ke kantin, yuk, Willy!"

Aku menoleh. Mata biru Anne memancarkan senyuman riang.

***

Ibu bilang, sekolah ini bagus. Dan, yah, dia setuju untuk menyekolahkanku di sini, dimana aku bisa kembali berbaur dengan teman-teman yang sebaya denganku. Saat aku menjawab 'iya' padanya, artinya aku tidak peduli. Sama sekali.

Ibu bilang, setelah beberapa hari di kota ini aku bisa memulihkan ingatanku kembali. Kota ini, Charlotte namanya, dulu merupakan tempat tinggalku tepat sebelum aku menjalani terapi di luar negeri. Kota tempatku mengalami kecelakaan yang merampas ingatanku di masa-masa sebelum kecelakaan itu terjadi. Retrograde amnesia, begitulah dokter menyebutnya. Aku tidak tahu benar apa artinya, yang jelas aku tidak ingat bahwa dulu aku begitu hafal jalanan-jalanan di kota ini. Aku bahkan tidak ingat siapa diriku.

"Selamat pagi, semuanya! Hari ini kalian kedatangan anak baru dari luar negeri, lho! Silakan perkenalkan dirimu, Sayang," ucap Mrs. Jefferson di kelas baruku pagi ini. Matanya birunya memancarkan kebahagiaan. Aku bertanya-tanya apakah mataku bisa tampak seindah itu saat bahagia.

Aku melangkah ke depan kelas. Telingaku menangkap bisikan-bisikan para murid lainnya. Mungkin mereka pikir aku aneh, mungkin tidak. Mungkin mereka pikir aku menarik, mungkin tidak. Apa pun itu, aku tidak peduli. Sama sekali.

"Namaku Emma-Lee Holloway," kataku pelan, tak sanggup mengatakan apa-apa lagi. Bahkan aku ragu mereka mendengarku bicara.

"Baiklah, Emma-Lee. Silakan duduk bersama Jillian, ya. Kuharap kau betah di kelas ini, Sayang," kata Mrs. Jeffrey ramah padaku. Saking ramahnya dia, aku hampir lupa bahwa Ibu sudah memperingatkannya tentangku yang sulit bergaul.

"Terima kasih ..., Mrs. Jeffrey," bisikku pelan sambil berjalan menuju tempat dudukku.

Mrs. Jeffrey tampak ragu saat menjawabku. "Ya, Sayang. Dan ... namaku Jefferson, sebenarnya. Tapi itu tidak masalah, Emma-Lee."

Aku menghentikan langkahku. "Aku lupa. Maaf." Lalu, berjalan kembali.

Selama pelajaran berlangsung, Lilian yang duduk bersamaku berusaha untuk mengajakku mengobrol. Mungkin saja sekarang dia masih mengoceh. Jujur saja, aku tak tahu apa yang dia bicarakan. "Kau mendengarkan, 'kan, Emma-Lee?" tanyanya padaku saat jam istirahat. Kami berada di balkon lantai tiga sekarang. Sebisa mungkin aku memfokuskan diri untuk menjawab.

Retro Memory Donde viven las historias. Descúbrelo ahora