D. I. A.

54 2 0
                                    


"LOE TUH JADI COWOK GIMANA SIH...!

"bla.... bla ... bla.... bla .... bla...? "
"bla..... bla ... bla ... blaa..!! "

dan bla..
serta bla.. bla.. lainnya.

Dikatakan dengan Forte dan tempo 1/16.

Itulah yang kutangkap dari perkataan -yang lebih tepatnya cacian- pacarku yang sangat 'mempesona' itu. Bukan kali pertama kami bertengkar, karena bertengkar sudah menjadi bagian dari rutinitas sehari-hari. Di rumah, di .mobil, di kuliah, bahkan di cafe seperti ini.

Hari demi hari, 'nyanyiannya' semakin kencang tidak berarah. Pacarku mulai mempermasalahkan hal-hal besar hingga kecil.

.

.

aku sudah jenuh

.

.

aku sudah muak

.

.

Hingga akhirnya tibalah hari ini. Hari dimana aku berada di titik puncak kejenuhanku, segala hal yang ia katakan tidak lagi kugubris dan aku hanya diam mematung ditempat.

Alhasil pacarku marah. Marah besar. Kini kami menjadi pertunjukkan utama bagi para pelanggan cafe ini. Pacarku mulai mendobrak meja, melempari benda disekitarnya, menangis, dan climax dari acara ini adalah menyiramku dengan kopi yang baru ia pesan.

Lalu dia pergi meninggalkanlku yang masih terpatung ditempat. Para pelanggan lain berusaha bertindak seperti mereka tidak menyaksikan apa-apa. Cafe pun kembali ke suasana yang tenang. Lalu tiba-tiba ....

"Permisi, boleh share? " ucap seorang wanita kepadaku yang masih basah kuyup.

"Oh silahkan..." jawabku singkat.
Lalu keheningan pun meraja. Sang gadis mulai membaca buku serta mendengarkan musik dan aku masih terpaku di kursi menatap kemeja yang basah dan lengket.

Cukup peka terhadap situasi ini, aku otomatis langsung mengambil ancang-ancang hendak pergi. Namun gadis yang berada di depanku seketika menahanku.

"Ngga mau ngeringin baju dulu? Aku ada lap...Nih". Gadis itu pun menyodorkan handuk.

Bicaranya sangat tidak sopan- Namun tetap saja aku mengambil handuk tersebut. Memang 'labil' sekali aku sebagai lelaki. Lalu kesenjangan pun lagi-lagi mulai memenuhi suasana. Dia mulai sibuk dengan dunianya dan begitu pula aku. Namun kali ini aku berinisiatif bertanya tentang buku apa yang ia baca.

Di luar ekspetasi, sang gadis mulai berbicara tentang bukunya dengan mata yang berbinar. Biasanya orang-orang tidak ada yang ingin berbasa basi dengan orang asing, namun ia berbeda. Walaupun....

"Iya jadi ini itu buku fanfiction tentang.... bla... bla... bla.....Trus penulis buku ini tuh udah...... 100000 cetakan... bla... bla...ganteng...... OTP... bla... bla... "

Terlalu. banyak. informasi. yang. tidak. penting. dan. aku. tidak. ingin. tau.

Namun entahmengapa dibandingkan dengan pacarku yang seperti tsunami, ia lebih menyerupai.... ombak? Karena walaupun ombak itu tidak sunyi alias berisik,ombak tersebut menenangkan hati yang mendengarnya.

-oke abaikan frasa kacau itu. 

namun memang benar,  entahkenapa ocehannya tidak pernah gagal menghiburku.

dinamika mezzo-forte itu membuatku selalu ingin mendengarnya.

saat ini dan setiap saat.

+++

Dan ternyata benar, kini aku dapat selalu mendengarkan dinamika mezzo-forte itu hampir setiap saat.

Ya singkat cerita, seperti cerita-cerita romance pada umumnya, aku menanyakan nama dan nomor teleponya. Kami pun akhirnya sering ngobrol lalu berujung ke pergi bersama.

Awalnya hanya makan siang bersama, lalu berjalan menyusuri sungai berdua, lalu akhirnya nonton bioskop,

Dan akhirnya pada pertemuan kami yang sekian kalinnya aku menyatakan cintaku padannya. Gadis itu tersipu malu dan bersikap gugup -lucu sekali gadis ini.

Namun aku melupakan satu hal.... aku melupakan fakta bahwa aku belum putus dari pacarku yang lama. Akhirnya aku memberi tahu kepada gadisku bahwa aku belum putus hubungan.

Aku dan gadis mezzo-forteku akhirnya memutuskan untuk berdua menemui 'pacarku'  sekaligus meminta restu.

+++

Lalu disinilah kami bertiga duduk,  tepat di cafe waktu pacarku menuangkan kopi hitamnya tepat di kepalaku.

"Aku ingin berbicara", ucapku malu-malu.

"Apa yang mau kamu bicarakan ?"

"Aku ingin kita mengakhiri hubungan kita..Maaf aku baru memberitahukan kepadamu bahwa kini aku telah menjalin hubungan dengan wanita lain"

Lalu aku meletakkan tanganku ke pundak gadis yang terlihat gugup disebelahku dan mendorongnya sehingga pundak kami bersentuhan.

"Ini dia gadis yang kini menjalin hubungan asmara dengaku... aku berharap kamu dapat memberikan restu kepada kami agar kami dapat terus bersama",  lanjutku dengan nada tegas. 

Aku sudah bersiap menghadapi nada suara tempo forte dari pacarku dan kini menunggu jawabannya atas pernyataanku.Tetapi bukannya amarah yang kudapatkan,  malah sebuah tatap nanar yang bingung kearahku.  Lalu perlahan ia berkata,

"Terserah loe aja," lalu ia pergi dan tidak pernah kembali.

Ketika mendengarnya, aku pun spontan memeluk gadis mezzo-forteku. Yang kini bukan lagi selingkuhanku namun secara resmi menjadi pacarku.


Betapa aku mencintainya

+++

Dengan berat aku menerima permintaan pacarku untuk putus. Padahal selama ini tak sedikitpun aku menuntut apa-apa. Aku benar- benar mencintainya dengan setulus hati.

Namun mungkin saja rasa cintaku tak tersampaikan dengan tepat. Segala bentuk cintaku ia anggap sebagai cacian, sebagai kekangan, padahal tidak ada maksud dariku untuk melalukannya.

Sehingga ketika ia meminta untuk putus, aku pun mengikhlaskan kepergianya. Walaupun sakit hatiku diputuskan karena wanita lain tetapi apa hakku untuk protes kepadanya?

Sehingga aku pun pergi meninggalkanya dan dari kejauhan, di balik kaca cafe itu, aku melihat sosok lelaki yang kucintai, sedang memeluk dirinya sendiri.

Mungkin inilah rasanya mencintai lelaki yang tidak bisa mencintai orang lain selain dirinya sendiri.

+++




Dia Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang