Enam

16.9K 1.8K 80
                                    

[ Vote dulu ya, baru baca 😄]

Rasa sesak begitu tak mengènakkan. Membuat seseorang merasa tak nyaman dan juga tak karuan. Adit meremas dadanya pelan. Berharap agar rasa sialan itu tak menghinggapinya.

Adit bingung. Mengapa ia harus merasakan rasa sesak ini? Mengapa ia harus sedih saat Arka menolak tawarannya? Mengapa juga Adit harus peduli pada Arka? Dan mengapa juga Adit harus peduli pada sosok es menyebalkan itu?

Arrghhh!!!

Ingin rasanya Adit teriak. Meluapkan rasa kesal dan sedihnya itu. Ayolah, ini bukanlah dirinya yang biasanya. Menangisi seseorang yang bahkan belum ia kenal dekat. Peduli pada seseorang yang bahkan belum begitu ia kenal. Sungguh, mengapa Adit harus melakukannya?

Daripada terus berdiam diri dan membiarkan rasa sesak itu menyeruak, lebih baik Adit pulang saja. Ya, memang itu yang harus ia lakukan. Adit mulai berjalan menuju ke gerbang sekolah. Menyusuri koridor kelas yang mulai sepi seorang diri.

Angin mulai berhembus kencang. Menyapa dan menggelitik permukaan kulit Adit. Ia sampai bergidik kecil karena kedingingan. Apa hari ini akan turun hujan? Ayolah, semoga tidak terjadi karena itu akan menghalangi Adit untuk pulang ke rumah.

Sesampainya di ujung kiridor, suara rintik hujan mulai terdengar. Turun membasahi atap sekolah yang menimbulkan suara gaduh yang khas. Adit mendumel dalam hati. Ya Tuhan, ternyata hujan benar-benar turun rupanya. Apa yang harus ia lakukan? Menerobos hujan yang mulai lebat itu, atau tetap berdiam diri hingga hujan reda?

Adit menggeleng kecil. Tidak. Ia tidak boleh menerobos hujan itu karena baju ini masih dipakai esok hari. Huhhh, sepertinya ia memang harus menunggu hujan reda.

Tetiba, saat sedang asyik melamun, terdengar suara derap langkah kaki mendekat. Adit menjadi siaga dibuatnya. Jaga-jaga jika orang itu ingin menjahilinya. Who knows?

Adit menelèngkan kepala ke arah sumber suara dan ia bisa bernapas lega saat mendapati sosok yang memang ia sudah kenal itu sedang tersenyum tampan ke arahnya. "Belom pulang Dit?" tanya Reza ramah.

Adit berdehem pelan sebelum menjawab, "I-iya nih." Hanya itu yang bisa ia katakan karena ia sendiri tidak tahu harus bertindak seperti apa.

"Gede banget ya hujannya." Reza memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana. Tubuhnya bergeser, mendekat ke arah Adit. Membuat Adit mengerutkan keningnya bingung. Haduh, kenapa harus dekat-dekat sih pikirnya.

"I-iya," jawab Adit kaku untuk kesekian kalinya yang membuat Reza menjadi gemas. Ayolah, ia ingin mencairkan suasana di antara mereka berdua. Namun sepertinya, itu bukan hal yang mudah. Reza harus extra keras.

Reza terus bertanya dan bertanya berusaha untuk menghilangkan garis batas di antara hubungan pertemanan mereka itu. Lambat laun, Adit pun mulai merasa nyaman. Entah mengapa mendengar suara berat itu, hati Adit menjadi tenang. Nyaman, selalu membuat kedua sudut bibir Adit tertarik membentuk sebuah senyuman.

"Eh, udah reda nih. Lo mau gue anter?" tawar Reza sembari tersenyum tampan.

Tentu Adit akan menolak. "Ah? Nggak usah. Aku pulang sendiri aja."

Namun, Reza malah menggeleng keras. Ia sangat ingin mengantar Adit pulang ke rumah. Ia merasa belum afdol jika tidak mengantar teman barunya itu. "Nggak deh, lo bareng gue aja. Gue ada helm sama jas hujan kok. Yuk."

Tanpa aba-aba, Reza langsung menggandeng tangan mungil nan mulus itu. Adit yang digandeng secara tiba-tiba hanya bisa berjalan sembari mengerjapkan mata bingung. Ingin rasanya menolak, namun rasanya percuma. Reza pasti akan tetap berupaya untuk membujuk Adit agar mau diantar pulang.

[TLS1] Quiet LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang