20. Kevin?

85.6K 4.6K 47
                                    

Seseorang yang jiwanya terganggu memang sangat sulit ditebak emosinya.

• • •

"Ck," Nael berdecak gemas. Ia baru ingat kalau gadisnya yang satu ini memang sungguh kelewat polos. "Gimana kalau nanti malam kita kencan?"

"Ehmm―"

"Nay,"

Belum selesai Naya berdeham, ayahnya memanggil dari arah dapur. Syukurlah ia jadi memiliki alasan untuk menunda jawaban atas tawaran itu. "Sebentar, ya, Kak. Ayah manggil aku," izinnya pada Nael, sebelum ia bergegas ke dapur, menghampiri sumber suara.

"Iya, Yah, ada apa?"

"Suster Diana tadi telepon, katanya Bunda nggak mau makan. Kamu ke sana, ya. Biasanya Bunda mau kalau kamu yang suapi."

Yes! Gue jadi ada alasan buat nolak ajakannya Kak Nael! seru batin Naya, namun kepuasan tampak jelas melalui garis ekspresinya.

Naya bukan tidak mau kencan sama Nael. Karena meski pacarnya sendiri, Naya belum ada kesiapan yang matang akan kencan-mengencani. Naya takut kalau nanti ia malah salah tingkah terus menerus. Apalagi akhir-akhir ini, degup jantungnya kian menggila saja tiap kali Nael menatap lekat pupil matanya.

"Iya, Yah, Naya mau! Sampai malam juga nggak masalah."

🌺

Siang itu, motor Nael membelah jalan raya, mengikuti panduan arah dari Naya untuk menuju rumah sakit tempat Fina dirawat. Naya gagal senang, ketika dirinya sudah memiliki alasan untuk menolak ajakan Nael, namun sekarang ia malah duduk diboncengan cowok itu. Karena walau Naya menolaknya untuk diajak kencan nanti malam, tetap saja cowok itu ikut bersamanya juga.

"Habis lampu merah ini, belok ke kanan ya kak. Terus langsung ambil kiri. Soalnya letak rumah sakitnya di sisi sebelah kiri," ujar Naya cukup kencang lantaran tidak ingin suaranya kalah dengan deru angin dan deru mesin motor Nael.

Tanpa perlu menyahut, Nael mengikuti arahan Naya. Sampai dari jarak sekian meter ia sudah bisa melihat sebuah bangunan besar nan kokoh bercat putih tulang, di sebelah kiri jalan raya. Persis seperti yang dikatakan Naya. Motor Nael langsung berbelok memasuki area parkir rumah sakit tersebut.

Naya turun ketika mesin motor yang ditumpanginya sudah benar-benar berhenti. Selagi Nael mencari posisi yang aman untuk memarkirkan motornya, Naya sibuk membuka kaitan helmnya yang begitu keras. Naya sudah mengeluarkan seluruh tenaganya, bahkan sampai tangannya merah, tetapi dua ujung besi yang saling berkaitan mengunci di bawah dagunya itu tetap tidak berhasil ia buka.

Sebenarnya Naya tidak pernah suka memakai helm dengan dua ujung talinya yang dikaitkan di bawah dagu. Karena ini, nih! Dibukanya pasti susah. Keras! Ini semua gara-gara Nael. Kalau saja cowok itu tidak memaksanya, Naya tidak akan mengaitkannya.

"Keras banget, sih!" sungutnya tanpa berhenti berupaya. "Aw―" Naya mendesaw kesakitan, ketika kaitan besi helm itu malah menjepit kulit ujung jarinya.

"Kenapa?" Nael bertanya sembari memasang standar motornya.

"Kejepit!" ketus Naya. "Gara-gara Kakak, nih!"

Nael tidak mengerti ketika tahu-tahu saja Naya menuduhnya. "Kok gara-gara gue?" tanyanya bingung.

"Iyalah! Kan Kakak yang nyuruh aku kaitkan cetekan helmnya. Jadinya susah dibuka, tau! Malah tangan aku yang kejepit, nih!" Naya menunjukkan ujung jari telunjuknya yang memerah, berceplak garis bekas terjepit.

"Oohh," Nael hanya ber-oh ria. Membuat Naya melotot, tidak habis pikir.

Namun tanpa diduga-duga cowok itu mengambil tangan Naya yang terjepit tadi, lalu mengangkatnya lebih tinggi. Kemudian tidak tahu apa tujuannya, tiba-tiba Nael meniup ujung jari yang merah itu, dan mengusapnya pelan.

Lost MemoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang