Hujan, Musim Panas dan Insomnia

1.1K 106 53
                                    

Sorry for typo and everything...
This story is about yuri or GXG
If you don't like don't read
Thank you^^
Happy reading^^

Veranda POV
Di pertengahan musim panas yang tak terlalu panas. Di batas yang sudah tak begitu jelas antara hati dan hari. Pagi yang begitu malas, ada yang hilang dari pagi kali ini. Mungkin satu-satunya yang hilang dari pagi adalah mimpi kehilangan.

Sudah dua hari semenjak insiden surat dari seorang di masa lalu kami, Naomi mendiamiku habis-habisan. Ia mengethauinya karena aku memberi tahu, dan aku mengetahuinya karena ia memberi tahu.

Apa ia cemburu? Oh ayolah, kami sudah menikah cukup lama. Apa kepercayaannya padaku mulai goyah?

Sudah dua hari ini aku seperti kupu-kupu mati yang segera jadi abu bila disentuh. Sudah dua hari pula aku, merasa di antara leher yang rekah dan rasa putus asa.

Karena aku begitu putus asa aku membiarkan ia mendiamiku sampai puas, ketika ia puas gantian aku yang mendiaminya.

Aku berjalan ke dapur untuk membuat kopi, mungkin hitam legamnya bisa membuatku sedikit tenang. Hidup terlalu singkat untuk kopi yang tak enak, terlalu lama untuk bikin sendiri. Secangkir kopi ini: saksi yang lugu. Terlalu lugu untuk aksi diam dan mendiami kami.
Hujan pagi ini awet, dari tadi malam. Hujan yang membuat tanah jadi becek dan udara berjamur. Tapi di udara yang cair selalu ada yang gemetar.

Naomi, jika kau memilih pergi dariku, aku akan melepasmu walau aku harus menahan sakit sendirian kelak. Dan di batas itu, aku memilih jadi buta.

Veranda POV end

Naomi POV
Kita memang telah mengunci masa lalu dalam kepalan. Namun memori adalah kereta yang sebentar singgah sebentar pergi dengan imaji yang disekap dalam kertas di teras dengan kursi-kursi besi.

Aku tidak dapat menolak memori yang sebentar datang sebentar pergi. Bayangan yang kadang menghantui di tidur siang. Tapi bayangan melenting ke barat, sebelum hujan sempat mendarat.

Waktu yang berputar seperti repetisi pada pintu itu, tidak dapat dengan mudah menghapus bayangan yang singgah di kepala. Lemah lesu aku tersedu.

Aku masih mendengar musik dari ruang yang jauh, membiarkan Veranda menjauh. Sudah dua hari kami tak hampir-menghampiri. Sudah dua hari pula aku dirundung kenang.

Aku memilih sendiri di laut pilu, ditemani angin yang mendayu. Menunggu reda yang mesti tiba. Namun entah kapan.

"Sayang, buka pintunya. Makan dulu yuk," kata Veranda dari luar pintu. Suaranya yang halus-perih menohok hatiku. Menyelubung nyesak penyesalan menyia-nyia.

Veranda, maafkan aku. Bukan aku tak lagi cinta denganmu atau bermaksud menyakitimu, hanya saja aku tak ingin berbagi kenang. Bagaimana bisa ternyata kita berdua satu kenang? Sakit? Jelas.

Ketika kau memberi tahuku darahku terhenti berlari. Samudra jiwa sudah selam berselam.

"Sayang sudahlah, ia bukan yang dulu lagi, bak kembang sari sudah terbagi," kata Ve masih merayuku dengan suara lembut bak sutra senja, agar aku mau keluar kamar.

"Tinggalkan aku sendiri," kataku dengan suara parau. Terdengar langkah kaki menjauh, mungkin ia sudah menyerah. Pecah pencar hatiku sekarang di ruang lengah lapang. Hancur luluh sepi seketika. Mati aku dikoyak-koyak sepi.

Tak terasa hari berlalu, dari kelam ke malam. Malam yang mencekam, dingin yang menusuk sampai ke tulang. Dan Veranda belum menyambangiku lagi. Mengapa Ve? Apa kau menyerah?

Malam mencekam kali ini diiringi oleh hujan, menambah dingin kamarku terlebih hatiku. Di negeri kelabu yang berhiba ini tanpa hujan pun sudah dingin.

Ting... tong... bell rumah berbunyi. Siapa yang bertamu malam-malam begini?

"Sebentar," teriak Ve dari arah dapur dan menuju pintu dengan langkah-langkah cemas yang bergegas.

...

...

...

Tak ada suara sedikit pun dari bawah, aku mulai curiga. Sudah cukup lama setelah tamu itu datang, tapi mereka sama sekali tidak bergeming.

Aku memutuskan untuk turun dan memastikan siapa tamu tersebut. Dengan langkah gontai dan badan yang lemas, karena aku belum makan seharian. Aku menyusuri anak tangga satu per satu, perlahan dengan gerakan yang sendu. Waktu di sekelilingku seolah melamban, ketika kudapati sosok tamu di hadapanku.








"Hai,"






















TBC








Hallo semua apa kabar? Semoga baik.

Author mau ngadain diskusi terbuka nih sama readers semua. Menurut para readers sekalian, bahasa yang author gunakan terlalu rumit tidak? Dan menurut readers sekalian, perlu gak author kurangin bahasa berat atau puitisnya? Atau author perlu ganti style nulis?

Mohon kritik dan sarannya yah~~

See ya at next chaptie
Don't forget to vote~~
Mohon bantuannya^^

Sendu MerinduWhere stories live. Discover now