2. Rumah Kakak

56.8K 3K 19
                                    

Aku tidak menyangka kalau kami akan pergi ke Jogja dan menetap disana. Baru saja kemarin kami menikah dan pagi ini kami sudah harus berada di Bandara. Pantas saja dua hari yang lalu Mama menyuruhku membereskan semua pakaian dan barang-barangku sebanyak itu.

Saat ini aku dan Raffa sudah berada di bandara. 30 menit lagi pesawat akan membawa kami ke Jogja. Kota yang baru dua kali aku kunjungi itu.

Raffa adalah pria misterius yang ketika dia sudah memiliki rencana, dia tidak akan mengatakannya pada orang lain. Buktinya dia tidak mengatakan apa-apa soal kepindahan kami ke Jogja dan pagi tadi baru saja pulang dari hotel, Mama sudah menyuruhku bersiap pergi ke Bandara. Bagaimana aku tidak terkejut?

Sebenarnya aku tidak setuju karena otomatis aku akan berpisah dari teman-temanku di Bandung dan resign dari kantor. Padahal aku sudah lama dan nyaman bekerja disana. Tapi karena Raffa adalah suamiku, aku harus menurutinya walaupun tak mau.

Perutku terasa nyeri karena aku belum sempat sarapan sama sekali. Sepertinya magh ku akan kambuh. Bagaimana ini ya? Tidak mungkin aku merengek pada Raffa meminta belikan makanan kan? Itu sangat memalukan.

Tapi rasanya lambung ku semakin perih saja. Aku harus memakan sesuatu.

"Kamu kenapa?"

Aku menoleh dan menampilkan cengiranku. Raffa tidak boleh tahu kalau aku sedang kelaparan sekarang.

"Kenapa muka kamu jadi agak pucat begitu? Kamu sakit?" tanyanya dengan wajah cemas seraya memegang dahiku.

"Nggak panas." Dia menyernyit dahinya.

Aku tersenyum tak enak sambil menekan-nekang perutku untuk mereda sakitnya tapi yang ada malah semakin perih. Aku tidak tahan lagi. Aku harus cari makanan sekarang juga.

"Raffa-eh Kak Raffa," aku memanggilnya pelan.

"Ya, kenapa?"

"Apa aku boleh membeli makanan sebentar? Aku belum sarapan dan sekarang magh ku sedang kambuh. Apa Kakak memberiku izin?" Aku berbicara dengan pelan dan sangat hati-hati, menekan setiap kata-kataku. Sedikit malu sebenarnya.

Dia terdiam, masih menatapku. Lalu kemudian tersenyum geli. Membuatku bingung sendiri.

"Kenapa harus meminta izin ku seperti itu? Kamu istriku. Dan aku suamimu. Tidakkah kamu terlalu berlebihan? Kenapa sepertinya kamu takut aku akan marah?" Raffa tertawa kecil.

Aku semakin malu jadinya. Rasanya aku ingin menutup kepala ku dengan karung beras. Aku tidak sanggup bertatapan dengannya.

"Maaf. Aku hanya belum terbiasa. Karena kita baru saling berbicara hanya setelah menikah. Kita juga belum mengenal lebih jauh satu sama lain. Jadi..."

"Ya, aku mengerti. Aku tahu dan oleh karena itu aku mau memperbaiki hubunganku denganmu. Pernikahan ini tanpa dasar cinta dan kita berdua melakukannya karena tanggung jawab masing-masing, makanya aku harap pernikahan ini bisa menjadi pernikahan normal selayaknya orang yang saling mencintai." Raffa tersenyum lembut padaku. Membuat jantungku melompat-lompat.

Rasanya aku tidak lapar lagi. Entah kenapa Raffa selalu membuatku terpesona. Dia tampan dan lembut kepada perempuan. Pantas saja Kakak mencintainya. Lalu, apa aku bisa mencintai Raffa? Dan Raffa bisa mencintaiku?

"Tunggu disini. Aku akan membeli roti untuk mengganjal perutmu," ucapnya lalu pergi sebelum aku sempat bicara.

Dia pergi membelikanku makanan walaupun aku tidak meminta. Dia benar-benar baik. Dan aku tahu ini hanya sebagai tanggung jawabnya. Ya tanggung jawab karena aku adalah istrinya sekarang.

Aku takut dengan perasaannya. Apakah dia sudah melupakan Kakak? Tapi tidak secepat ini kan? Dia pasti sangat tertekan karena kehilangan Kakak. Dia hanya berusaha untuk tegar didepanku.

After The WeddingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang