Bab 29 - Persembahan Keji

771 56 1
                                    

Padepokan Nyai Laksmi tengah mengadakan malam munajat bersama. Nyai Laksmi mengundang para pelancong ilmu yang menjelajahi alam Watukayu, golongan Gandarupa, para pendekar golongan bebas, perwakilan tiap padepokan yang ada di alam Watukayu, bangsa jin putih, dan siluman baik.

Gamelan yang dimainkan oleh bangsa jin tak kasat mata mulai meriuhkan atmosfer. Semua yang hadir berkumpul di pendopo besar utama. Nyai Laksmi terlihat duduk tasyahud bersama para pemuka padepokan yang lain. Mereka saling memejamkan mata dan menghitung buku jari secara khusyuk.

Di barisan depan duduklah Gandarupa Hijau beserta anak perempuannya, Gandarupa Kuning yang sudah pulih dari luka serbuan siluman jahat. Dari tubuh mereka bergelenyar dan berdenyut-denyut garis sinar sewarna kulit. Semakin dalam mereka melantunkan mantra rahasia, semakin kuat daya pancar sinar dari tubuh.

Hadirin yang hadir pun demikian, sinar yang menguar dari tubuh mereka berguna untuk menghalau kekuatan jahat yang tengah berkecamuk dalam alam. Mereka rasakan itu. Dalam kata-kata pembuka permunajatan, Nyai Laksmi telah menyampaikan ada perihal genting yang sedang terjadi. Bahwa mereka harus bersama-sama menggalang kekuatan. Nyai Laksmi mencurigai bahwa Ratu Siluman berada di balik ini semua. "Secara fisik, dia sudah tiada, namun jangan salah, menjadi abadi tidak selalu harus berwujud. Kekuatan yang diwarisinya dari Raja Siluman adalah kekuatan yang tak dapat diraba. Ketahuilah, kekuatan hasut lebih dahsyat dari kekuatan ajian raga."

Dari kalangan siluman baik ada yang menyangkal. "Jangan sebut dia ratu lagi. Itu hanya memberinya kekuatan."

"Benar adanya."

Semua yang hadir pun sebelum menginjakkan kaki di padepokan Nyai Laksmi, memang sudah merasakan tanda-tanda meresahkan yang berkecamuk di alam Watukayu. "Ada yang bergerak di balik udara. Tak dapat dilihat. Tak dapat diraba. Namun mereka ada dan nyata. Mengusik demi merobek batas dunia, mengincar kunci portal dunia percabangan."

Bangsa jin putih pun mengatakan kepada Nyai Laksmi bahwa di alam mereka pun tengah terjadi perang saudara. Maka yang hadir saat ini tidaklah terlalu banyak dari pada sebelumnya, itu disebabkan mereka tak ingin terlibat dalam kisruh. Mengetahui itu, Nyai Laksmi menyesalkan. Tabuhan gamelan kurang menggelegar dari pada sebelumnya.

Akibatnya, beberada di antara pendekar golongan bebas ada yang mewanti dan mewaspadai munculnya penyusup dalam permunajatan ini. Menjadikan lantunan mantra rahasia mereka tak terfokuskan. Sinar yang dihasilkan pun jadinya redup belaka.

Para hadirin telah diberitahu, legenda Jaka si Wayah Kelana yang membantu terciptanya alam ini tengah menghadapi masalah. Ada yang terjadi dan mereka tak mengetahuinya, yang mana membikin semuanya resah.

"Mari kita tunggu kehadiran Sang Wayah Kelana."

Semua berharap Wayah Kelana tersebut membawa kabar gembira bagaimana mengatasi semua ini.

"Dia tengah mencemplungkan diri di Cawan Kenangan. Semoga yang didapat utuh belaka. Sebab yang kurasa ketika bertemu dengannya, dia bukanlah ia."

Namun, kedatangan Jaka Wiranggaleng amatlah terlambat. Serangan datang tanpa siapa pun mengantisipasi. Seorang pendekar golongan bebas tiba-tiba saja ambruk tanpa diketahui dari mana asalnya lubang berdarah di dada dan leher yang mengucurkan darah demikian deras. Seketika semua menjadi waspada. Melancarkan ajian demi menajamkan indera. Sementara barisan depan dalam pendopo besar utama masih menguatkan ucapan mantra.

Serangan satu per satu muncul. Menyusul kemudian dari golongan siluman burung, selusin nyawa melayang saat itu juga akibat adanya udara tajam melintang dan menebas kepala. Mayat mereka tergeletak berubah jadi abu. Itu pun tiada diketahui datangnya pisau tajam yang ringan serupa semilir angin.

ASTRAL TRAVEL AGENTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang