Setelah menuruni undakan tangga tersebut, Bok Ciok memalingkan wajahnya. Lan-tian-bun seperti istana di langit yang dikelilingi awan putih.
Bok Ciok tidak dapat menahan keinginan tahunya lagi.
Baru saja ingin membuka mulut, dari atas gunung berkumandang suara yang menggelegar, "Ci Siong ...!" Suara Tok-ku Bu-ti, "Aku memberimu waktu dua tahun. Apabila dalam waktu dua tahun tidak ada murid Bu-tong yang sanggup mengalahkan aku, maka dua tahun kemudian aku sendiri yang akan menuju Bu-tong-san dan membasmi Bu-tong-pai!"
Suara itu ibarat gendang yang bertalu-talu. Kumandang dan gemanya memenuhi seluruh Giok-hong-teng bahkan hutan di bawah sana. Mendengar ucapan itu, wajah Bok Ciok dan Ti Ciok segera berubah hebat. Ci Siong tojin memegangi dadanya sendiri, "oakkk!", segumpal darah kental muntah dari mulutnya.
Batu-batu tangga tersebut merah oleh darah yang dimuntahkan tadi. Wajah Ci Siong tojin bahkan lebih pucat daripada selembar kertas. Bok Ciok dan Ti Ciok segera menghampiri dan memapahnya.
"Suhu ...!"
"Jalan ...." suara Ci Siong demikian lemah.
Suara teriakan gembira berkumandang dari atas sana, gemuruhnya bagai petir yang menyambar di siang hari.
"Wie-tian-wei-toa, Ju-jit-fang-tiong (hanya langit yang paling besar, ibarat mentari bercahaya di tengah hari)!" Teriakan itu merupakan semboyan Bu-ti-bun. Mereka berulang-ulang menyerukan kata yang sama.
*****
Suara teriakan bergema sejauh puluhan li. Diiringi suara teriakan itu, Tok-ku Bu-ti mengendarai kuda menuju kantor pusat. Dia sudah berganti pakaian. Di tengah dadanya tersulam matahari berwarna merah keemasan. Dengan bangga dan angkuh dia melewati ruangan besar dan duduk di atas sebuah kursi yang tinggi yang ditutupi sehelai kulit harimau. Di sebelahnya terdapat sebuah lukisan yang bergambarkan seekor naga yang sedang mengamuk ketika badai menyerang.
Di tengah-tengah ruangan terhampar sebuah permadani berwarna merah yang memanjang sampai depan pintu. Di sebelah kiri dan kanan masing-masing terdapat dua buah kursi yang diduduki oleh empat orang Hu-hoat. Di belakang mereka berdiri tiga dan empat, tujuh orang tongcu dari berbagai bagian.
Di bawah Buncu dari Bu-ti-bun, terdapat empat orang Hu-hoat yang semuanya terdiri dari jago-jago kelas satu. Cian-bin-hud mempunyai keahlian dalam mengubah wajah. Dengan sebuah ruyung dia pernah menggetarkan lima propinsi di daerah utara. Kiu-bwe-hu (musang berekor sembilan) memang sesuai dengan namanya, orangnya licik dan otaknya penuh akal busuk. Dia adalah seorang Im-yang-jin (banci). Ban-tok-siang-ong (dewa selaksa racun) merupakan seorang ahli dalam bidang racun. Han-ciang Tiau-siu selalu menggunakan pancingan sebagai senjatanya. Sekali terkait, dia mampu melempar orang tersebut sejauh tiga depa dan tidak jarang membentur benda yang keras sehingga kepala lawannya hancur berantakan.
Keempat orang ini mempunyai keahlian masing-masing. Susah mengatakan siapa yang paling unggul di antara mereka. Namun yang pasti tidak mudah mengajak mereka bekerja sama, apa lagi bersedia menunduk dan menjadi Hu-hoat Bu-ti-bun. Dari hal ini saja, dapat dibayangkan besarnya pengaruh Tok-ku Bu-ti.
Selain empat orang Hu-hoat tadi, masih ada bagian luar dan dalam. Bagian luar terdiri dari Tancu (kepala cabang), Hiongcu (penasihat). Di mana-mana memang terdapat kantor cabang mereka. Pokoknya di dalam dunia kangouw, tidak ada perguruan atau pun partai lain yang dapat menandingi banyaknya anggota Bu-ti-bun. Apa lagi sekarang, dia bagaikan harimau tumbuh sayap. Wie-tian-wei-toa, Ju-jit-fang-tiong!
*****
Tok-ku Bu-ti duduk di atas kursi kebesaran. Tangannya mengibas satu kali. Suara seruan yang berkumandang dari dalam dan luar ruangan terhenti seketika. Salah satu dari Tongcu bagian luar segera menghadap.

YOU ARE READING
Pendekar Ulat Sutra (Tian Chan Bian) - Huang Ying
General FictionPertarungan antara ketua Bu Tong dan ketua Perkumpulan Bu Ti Bun yang diadakan setiap 10 tahun sekali di Pintu Langit Selatan berakhir dengan kekalahan dari ketua Bu Tong Pay. Tapi kenapa sampai saat ini Bu Tong Pay belum dihancurkan oleh Bu Ti Bun...