14. Toge Goreng

13.5K 1.3K 27
                                    

Nina

Untuk pertama kalinya sejak Ibu meninggalkan Ayah dan aku, aku tidak melewati hari Sabtu seorang diri. Bukannya aku tidak senang menghabiskan hari libur ini sendirian, hanya saja aku sudah terbiasa dengan rutinitasku setiap Sabtu sejak hampir enam tahun yang lalu itu. Aku biasanya akan menikmati kesendirianku. Meskipun yang kulakukan tidak jauh-jauh dengan membaca majalah langgananku—ini jika semua novel baruku sudah aku baca—atau hanya sekadar duduk di depan televisi dan menonton tayangan yang sebenarnya tidak begitu menarik untukku. Tapi aku tidak pernah bosan. Aku sudah terbiasa seperti ini. Dan sekarang, pergi keluar di hari Sabtu hanya berdua dengan Arjuna, malah terasa aneh bagiku. Ralat, sangat aneh.

"Kita makan toge goreng, ya. Toge goreng paling enak di dunia. Toge gorengnya Pak Abung," kata Arjuna sambil sesekali melirik padaku. "Lo suka, kan?" dia bertanya. Terdengar agak ragu. Mungkin karena tempo hari dia begitu yakin kalau aku menyukai cokelat. Padahal, seperti yang aku katakan sebelumnya, aku benci makanan manis.

Aku mengangguk sebagai jawaban. Aku pernah beberapa kali makan toge goreng. Kalau aku tidak salah, itu adalah salah satu makanan khas Bogor. Aku tidak terlalu mengetahuinya karena Ayah orang Palembang dan aku lebih mengenal makanan khas sana. Aku sudah mengatakannya sebelumnya, kan?

"Bagus, deh," kata Arjuna. "Tapi, gue yakin orang yang nggak suka toge goreng pun pasti bakal suka sih, sama resepnya Pak Abung ini," katanya percaya diri.

Aku hanya geleng-geleng kepala di tempatku duduk. "Seenak itu?"

"Iya!" jawabnya cepat. "Seenak itu. Lo bakal kaget banget sama rasanya. Gue dulu sampe kepikiran buat nyolong resepnya biar bisa bikin tiap hari di rumah. Rasanya tuh... ah, tau ah. Enaknya keterlaluan pokoknya." Lelaki itu menjelaskan. Membuatku menahan senyum.

Aku selalu suka hal-hal seperti ini, ketika seseorang menjelaskan apa yang mereka suka dengan wajah antusias yang seperti anak kecil. Apa saja. Mau itu hal sepele seperti makanan—yang saat ini sedang Arjuna lakukan—ataupun hobi dan kesukaan mereka, mengenai apapun. Tidak tahu kenapa, aku hanya suka saja.

"Tuh, lihat di depan. Yang ada tulisannya," Arjuna kembali berkata, kali ini tangannya menunjuk sebuah tempat seperti gazebo yang letaknya sudah tidak begitu jauh.

Ketika kami sudah sampai di gazebo tersebut, Arjuna menepikan mobilnya di tempat parkir yang sudah disediakan dan mengajakku keluar. Tempat ini tidak sendirian. Seperti rest area, ada banyak penjual makanan lain di sini. Dari mulai penjual oleh-oleh sampai penjual mie bakso. Tempatnya juga cukup luas.

Aku mengikuti Arjuna yang segera duduk di salah satu spot kosong di atas gazebo. Seperti yang dia katakan tadi, Toge Goreng Pak Abung ini bisa terbilang ramai. Melihat para penjual makanan lain yang hanya diisi oleh dua sampai tiga orang bahkan ada yang kosong, tempat ini bisa dikatakan sangat ramai. Ada sekitar sepuluh sampai lima belas orang di sini. Baik yang baru datang, seperti kami, yang baru selesai makan, yang sedang makan, juga yang hendak pergi.

"Beruntung kita dapet duduk," bisiknya padaku yang kini sudah duduk di sampingnya. Lelaki itu menunjuk sebuah mobil pribadi yang baru saja menepi dan dari dalamnya keluar enam orang yang tengah berjalan ke arah kami.

Benar. Kalau kami datang lebih lama sedikit saja, mungkin kami tidak akan kebagian duduk. Arjuna memesan dua porsi—tapi dia mengatakan yang satu seperti biasa, entahlah seperti biasa macam apa yang dia maksud—lengkap dengan telur asin dan kerupuk kulit.

Tidak lama, pesanan kami sudah selesai dibuatkan. Dan sekarang, aku tahu apa yang dimaksud dengan seperti biasanya Arjuna. Aku melihat piringku dan piringnya bergantian. Jika milikku adalah satu piring toge goreng, dengan satu telur asin, milik Arjuna adalah dua kali lipatnya. Aku menelan ludah.

Na!Onde histórias criam vida. Descubra agora