I'm Here For You, Veranda

917 94 4
                                    

Minggu, 2 Juli 2017.

Hai, Ve. Kabarmu baik?

Menurutku, aku tidak baik-baik saja. Sejak hari dimana kau pergi begitu saja, meninggalkan sweater biru kesayanganmu di lemari yang biasanya kita pakai untuk berdua, aku tidak baik-baik saja. Hati ini masih terasa perih, aku bahkan seperti sudah kehilangan tujuan hidup. Kau yang biasanya pertama kulihat saat bangun tidur dan yang terakhir kutatap sebelum menutup mata, kini telah pergi, mungkin untuk selamanya.

Aku selalu bertanya pada diriku sendiri mengapa aku bisa sebodoh ini untuk melepaskanmu begitu saja, menyerah atas takdir yang sebenarnya masih bisa kulawan. Aku seharusnya menghentikan langkahmu dan memelukmu saat itu, berkata bahwa segalanya akan baik-baik saja selagi mengelus rambutmu penuh kasih sayang. Tetapi aku tidak melakukannya, aku hanya terdiam bagaikan orang bodoh ketika kau berjalan melewatiku selagi menyeret koper besar berisi barang-barang milikmu.

Diriku ini memang egois, lebih mementingkan keresahanku sendiri dibanding kau yang masih berharap besar padaku. Aku bahkan tidak yakin apa aku pantas untuk menuangkan segala perasaanku ke dalam surat ini.

Namun untuk sekali ini saja, bisakah dirimu membiarkanku menuliskannya?

Senyummu, tawamu, mimik wajahmu saat kesal, segala macam ekspresi yang telah kau tunjukkan di hadapanku masih saja menghiasi pikiranku setiap hari. Ketika aku sudah mulai merasa bahagia, senyumku tiba-tiba lenyap begitu saja, hanya karena bayang-bayangmu menyelinap dalam benakku. Aku sendiri masih kesal dengan diriku yang sangat menyedihkan ini, tak mampu lepas dari sosokmu hingga kapanpun.

Veranda, apa kau masih memikirkanku?

Aku yakin tidak, kenangan tentang diriku memang sebaiknya kau lupakan. Akan jauh lebih baik jika kau tidak kembali tersakiti dengan segala ingatan tentangku di masa lalu, aku tidak ingin dirimu merenung sendiri hanya karena kenangan pahit itu.

Aku masih ingat, ketika dirimu berlari diantara rerumputan sambil tertawa dengan begitu bahagianya, memanggil namaku berkali-kali selagi melambaikan tanganmu. Saat itu, kau mudah sekali tersenyum, meskipun hanya karena hal sepele seperti melihat seekor kupu-kupu terbang melewatimu.

Atau malam dimana kita berdua duduk di sofa, memakai selimut yang sama selagi menonton televisi. Kau terlihat begitu menggemaskan saat itu, sesekali menenggelamkan wajahmu di caruk leherku karena sebuah trailer film horor yang diputar di channel yang kita tonton. Malam itu berakhir dengan sensasi lembut menyentuh bibirku, kau tertawa dengan polos saat melihat wajahku yang merah padam dikarenakan dirimu berhasil mencuri sebuah ciuman singkat dariku.

Juga, di pagi saat kau memelukku erat-erat dengan alasan yang cukup aneh menurutku.

"Soalnya kamu anget sih, enak dipeluk. Kan AC kamarnya dingin, hehehehe."

Lagi-lagi, perkataanmu berhasil membuat pipiku terasa hangat.

Berpikir kembali, aku memang merindukan masa-masa itu. Walau aku tahu bahwa diriku tidak berhak menginginkan dirimu kembali di depan pintu apartemen yang dulunya milik kita berdua.

Pertengkaran kita bukan hal yang sepele, aku tahu jelas tentang hal itu.

Mengapa?

J.VWhere stories live. Discover now