chapter 9::

210 33 0
                                        

"Apa yang terlihat itu enggak semua sesuai dengan apa yang ada di dalam. Maksud gue, tampilan seseorang itu nggak selalu menjamin isi hati orang tersebut. Luarnya aja ceria, bukan berarti dia selalu baik-baik aja, kan?

-Fia, Pythagoras

🔹🔹🔹

"Sumpah lo pernah gagal nembak cewek?" Tanya Fia setelah Radja bercerita-sedikit curcol. Tadi tiba-tiba saja Fia menceritakan dirinya saat SMP, kemudian pada akhirnya ia meminta Radja bercerita. Gantian, katanya. Akhirnya Radja dengan sedikit berat hati bercerita. Asal kalian tau, sebenarnya Radja adalah pribadi yang tertutup.

"Tapi itu udah tiga tahun yang lalu pas gue masih kelas tiga SMP. Cinta monyet," cetusnya. "Udah lah, enggak penting. Masa lalu ya masa lalu, nggak usah diungkit lagi-"

"Jangan kau ungkit, jangan tinggalkan aku. Masa laluuu~" seloroh Fia disertai cengiran seperti biasanya. Dan Radja tahu, Fia akan terus seperti ini. "Ehe, Radja nyengir!"

"Bisa nyenengin orang-orang di sekitar lo itu enak ya?" Tanya Radja tiba-tiba. "Lo itu selalu ceria dan lo bisa menularkan ceria itu ke orang-orang yang lagi sama lo."

Fia menepuk pelan punggung tangan Radja yang berada di atas meja. "Udah pernah baca petikan di buku About Girl Hearts yang di bab 4, belum?" Radja menggeleng, dia saja membaca buku itu dengan acak. "Di sana tertulis, apa yang terlihat itu enggak semua sesuai dengan apa yang ada dalam. Maksud gue, tampilan seseorang itu nggak selalu menjamin isi hati orang tersebut. Luarnya aja ceria, bukan berarti dia selalu baik-baik aja, kan? Dan nggak ada manusia yang nggak punya masalah." Kini Radja mengangguk.

Namun tersadar akan ucapan Fia, Radja terhenyak. "Jadi maksud lo, sebenarnya lo itu nggak baik-baik aja?"

Suara tawa Fia terdengar menggelegar di penjuru kafe, tapi dengan cepat gadis itu menutup mulutnya sendiri. "Sori-sori, kelepasan," ujar Fia. Kemudian ia berdeham, dilihatnya wajah Radja seakan meminta jawaban atas pertanyaannya tadi. "Kan gue udah bilang, nggak ada manusia yang nggak punya masalah. Termasuk gue."

"Terus, lo nggak mau cerita sama gue?"

"Sebenarnya sih pengin." Wajah Fia mendadak sedih. "Tapi gue kalau udah nangis bakalan histeris dan lama berhentinya. Apalagi lo cowok, Ja. Entar lo dikira habis ngapa-ngapainin gue," kini Fia terkekeh lagi sementara wajahnya masih terbentuk gurat kepedihan.

"Nggak tau kenapa setelah lo bilang lo nggak baik-baik aja, di mata gue, lo nggak lagi cewek hiperaktif yang selalu ceria," cetus Radja.

Dengan tangannya yang tadi diatas tangan Radja, Fia menyentil dahi cowok itu. "Kalau gitu anggap aja gue nggak pernah cerita apapun ke lo."

"Gue udah baca di buku About Girl Hearts, cewek itu suka mememdam sesuatu sendiri. Kenapa, sih? Bukannya itu bikin beban yang dipikulnya semakin berat ya?"

"Kenapa jadi gue yang baper sih?" Kekeh Fia sambil menghapus satu bulir bening yang lolos dari pelupuk matanya. "Udah stop, jangan nangis lagi. Fia strong, huh hah huh hah, Strong!" Ujar Fia menyemangati dirinya sendiri sambil mengepalkan tangannya di udara selama beberapa detik. "Ayo, Ja, ikutin gue. Biasanya kalau gue habis ngelakuin itu, sedikit masalah gue terbang sama angin. Ya, walupun persentase manjur-nya cuma satu banding seribu," celoteh Fia dengan nada yakin.

Senyum lebar terbit pada bibir Radja bersamaan dengan tangan Radja yang mengikuti setiap gerakan dilakukan Fia.

Mereka berdua tertawa bersama, tak peduli dengan kafe yang semakin lama semakin ramai.

🔹🔹🔹

Fia merebahkan tubuhnya di atas kasur king size di dalam kamarnya. Matanya menatap lurus pada langit-langit berwarna putih itu. Senyumnya lagi-lagi mengembang saat tiba-tiba wajah Radja terlihat pada langit-langit kamarnya. "Gue nggak mungkin suka Radja, iya kan?" Ia bertanya pada dirinya sendiri. "Ya nggak mungkin lah. Radja itu cocoknya buat Abang gue."

"Tapi dia ganteng, jadi bikin gue deg-degan kalau sama dia. Lah, berati gue suka dia dong?"

"Adeeek! Kamu ngomong sama siapa?" Mama bertanya dari luar pintu. "Ngelindurnya kumat lagi?" Lagi-lagi Mama bertanya.

"Ini lagi telponan-"

Tiba-tiba saja suara intro dari lagu Amnesia mengalun lembut dari speaker ponsel Fia. "Loh, Adek, hape kamu emangnya ada berapa kok satunya buat telpon satunya itu bunyi?"

"I-iya bentar, Ma." Fia men-slide tombol hijau pada layar ponselnya. Kemudian setelah beberapa menit yang didengarnya hanya bisik-bisikan serta suara orang berkata "shht, diem bentar!", Fia lalu memutuskan panggilan tersebut.

Tak sampai satu menit, ponselnya kembali berdering. Kali ini ia masih pikir-pikir kalau mau mengangkat telpon tersebut. "Ini orang iseng nggak sih?" Gumamnya, lagu Amnesia yang diatur menjadi dering ponselnya sudah melewati intro music. "Angkat enggak ya? Penasaran sih, tapi kalau entar gue diapa-apain, gimana?" Ia menggigit telinga tikus pada anti crack ponselnya.

"Angkat deh, bentar doang." Karena tidak mau mati penasaran, Fia akhirnya menggeser tombol hijau itu. Kini suara "Nah lo dijawab!" Langsung menyambut indera pendengarannya.

Beberapa menit Fia tidak mengatakan apapun, ia menunggu orang di seberang sana yang memulai. Sampai suara dehaman itu terdengar kaku. "Gue Radja, Fi."

Mata Fia membelalak. Seriusan Radja? "Radja asli apa fake nih?" Selidik Fia. "Soalnya Radja kan nggak punya kontak gue," ujar Fia.

"Asli kok, tenang aja," balas suara di ujung sana "Segitu bedanya ya suara gue di telepon?" Kekeh Radja.

Fia menjauhkan sedikit layar ponselnya, niatnya ingin melihat caller id-nya. Tapi Fia baru ingat kalau dia sendiri tidak pernah menyimpan nomor Radja, punya aja enggak.

"Dapet nomor gue dari mana, Ja? Perasaan lo belum pernah minta kontak gue deh. Oooh, atau lo stalker Facebook gue ya? Gue pernah tuh tulis nomer sama pin bbm gue pas kelas tiga esempe dulu. Iya 'kan-iya 'kan? Lo liat di sana 'kaaan-"

Kelas tiga smp, batin mereka berdua.

Tanpa tahu apa yang mereka pikirkan menyambungkan kembali tali yang sempat terputus untuk sejenak. Mengembalikan memori itu bersama dengan semua yang ada pada otak mereka.

"Fia, lo kelas dua belas 'kan? Besok siang belajar bareng, boleh? Oh iya, save nomor gue ya." Setelah memberikan jawaban pada Radja, Fia meletakkan kembali ponselnya. Tangannya meraih foto berbingkai di atas meja belajarnya. Ia menghela napasnya kasar.

Menahan semua rindu yang telah tertimbun sejak tiga tahun lalu. Kapan dia kembali?

Tiga tahun rupanya belum membuat semesta puas menunjukkan lara itu pada Fia. Semesta masih ingin Fia merasakan sedikit lara yang dirasakan para pecandu rindu di luar sana.

Fia meletakkan kembali foto ke tempat semula. Memejamkan matanya. Karena di saat seperti ini, yang bisa dilakukan untuk menghilangkan rasa rindu adalah tidur dan melupakan masalah untuk sejenak.

🔹🔹🔹

25 April 2017

PythagorasNơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ