EMPAT PULUH DUA : Good Night

227K 18K 825
                                    

Yura menyelimuti dirinya sendiri dengan selimut. Dahinya mengernyit, mencoba berpikir apakah Aldrich benar-benar akan datang atau tidak. Dia kan baru saja pulang, lalu mengapa harus kembali lagi dengan alasan rindu?

Tetapi bagaimana pun juga hal itu berhasil membuat pipinya terasa panas dan bersemu merah, Yura terkekeh kemudian.

Rasanya ia sudah gila.

Yura kemudian berpikir apakah ia harus diam di ruang tengah atau tetap di sini dengan kemungkinan tertidur, meskipun rasanya itu tidak akan terjadi. Dirinya sepenuhnya sadar, rasa kantuknya seolah hilang. Mungkin juga karena ia kebanyakan makan apel tadi.

Lampu kamar yang tadinya mati segera Yura hidupkan, ia bangun dan berjalan menuju balkon. Menatap ke seberang, di mana apartemen Aldrich berada. Ia jadi ingin pergi kesana lagi, mengingat banyaknya buku terutama novel yang sangat menyenangkan untuk dibaca.

Bunyi bel yang berbunyi membuat Yura menoleh, seiring dengan langkahnya yang tidak terlalu panjang jantungnya berdetak lebih cepat.

Yura berhenti sesaat, jika orang itu Aldrich mengapa harus membunyikan bel? Langsung masuk kan bisa, karena laki-laki itu mengetahui kata sandi apartemennya.

Jadi dengan harap-harap cemas, Yura tidak keluar setelah membuka pintu. Hanya menyembulkan kepalanya dengan mata bulat miliknya yang memerhatikan siapa orang di luar.

Tetapi orang itu memang Aldrich.

"Mengapa menekan bel? Kau kan bisa langsung masuk?" Aldrich tersenyum. "Aku hanya berusaha bersikap manusiawi, seorang tamu memang seharusnya bersopan santun bukan?"

Yura mengernyitkan dahi. "Aneh sekali."

"Memangnya sikapku selama ini sangat primitif ya?"

Yura mengangguk cepat. "Apalagi kau ini pernah mem-"

Yura tiba-tiba memicingkan matanya ketika melihat noda darah di sudut bibir Aldrich yang sobek. "Apa yang terjadi denganmu?"

Aldrich mendorong Yura ke dalam apartemen. "Nanti saja kuceritakan."

"Habis berkelahi?"

"Bisa jadi."

"Aku tidak mengerti."

"Begini." Aldrich mendudukkan Yura di atas meja dapur, sehingga membuat perempuan itu sempat melotot.

"Saat aku ke sini, ada pengendara dua pengendara motor yang berboncengan tiba-tiba memukul-mukul jendela mobilku. Itu terjadi di jalan yang sepi."

"Lalu?"

"Karena kukira mereka berniat jahat, jadi aku hentikan mobil dan turun."

Kening Yura mengkerut tidak mengerti. Jika ia ada di posisi Aldrich saat itu ia pasti sudah mempercepat laju mobil dan berusaha pergi dari sana secepat mungkin. Kelakuan Aldrich benar-benar membuatnya geleng-geleng kepala karena tidak mengerti.

"Jika kau menganggap mereka akan berbuat jahat, mengapa harus turun dari mobil? Aku tidak mengerti."

"Justru itu, aku ingin memberitahu mereka apa yang bisa dilakukan yang lebih jahat dari yang akan mereka lakukan."

"Seperti?"

"Membunuh," jawab Aldrich ringan, diakhiri dengan kekehan manis di akhirnya.

"A-apa?"

"Mereka memaksaku untuk menyerahkan mobilku, tentu saja aku menolak."

"Lalu?" Yura membenarkan cara duduknya di atas meja.

"Mereka dua orang dan memakai pisau untuk mengancam, sayangnya mereka tidak tahu sudah berurusan dengan siapa."

Yura meringis, ia bisa mengerti dan malah menjadi kasihan terhadap dua orang yang diceritakan Aldrich ingin merebut mobilnya.

My Psychopath Boyfriend (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang