EMPAT PULUH SEMBILAN : Pulang

213K 18.5K 1.9K
                                    

Aldrich membiarkan tubuhnya basah karena hujan yang cukup deras, rasa dingin dan rasa pusing di kepala ia abaikan. Matanya terpejam dan napasnya teratur seolah sedang tidur​.

Aldrich diam saja ketika Benjamin ikut duduk di bangku taman, udara musim gugur yang dingin seolah tidak memengaruhi keduanya.

"Kau harus masuk."

Aldrich berdecih, selama tiga hari di Tokyo kepalanya seakan ingin pecah. Bukan karena pusing memikirkan bisnis keluarga Bale yang rumit, tetapi berusaha mati-matian untuk menahan rasa rindunya. Kalau tidak bisa mungkin Aldrich sudah terbang kembali pulang dan memeluk pemilik hatinya.

Tiga hari belakangan ini pula ia tidak menghubungi Yura, Benjamin menahannya dengan ancaman yang sangat Aldrich benci, yaitu keselamatan Yura yang menjadi jaminan. Oleh karenanya ia menurut walaupun terpaksa.

"Apa pedulimu?" Balasan sinis Aldrich membuat Benjamin mendesah, kalau bukan karena perintah Jonathan ia tidak mau repot-repot pergi bersama Aldrich ke negara matahari terbit ini.

"Nanti malam kita pulang, istirahatlah. Kau tidak ingin terlihat baik-baik saja saat bertemu wanitamu?"

Bukannya menurut, Aldrich malah mempernyaman posisi duduknya. Mulutnya tetap terkunci dan tidak ada keinginan untuk menjawab.

"Jangan seperti ini Aldrich, kau menyusahkanku," gerutu Benjamin sebal.

"Kalau begitu beritahu pada setan tua itu untuk membebaskanku dari bisnis ini, suruh saja anak-anaknya yang lain."

Benjamin mendesah, ia memasukan tangannya ke dalam saku jaket. Menggigil. "Percaya atau tidak, Jonathan hanya mengenalimu saja sebagai anaknya. Sedangkan yang lain ia tidak kenal sama sekali."

Aldrich berdecih. "Aku merasa tersanjung," ucapnya dengan nada mengejek.

"Dia menganggapmu istimewa Aldrich, selain karena kemampuanmu yang memang yang terbaik, Jonathan juga lebih menyayangimu le-"

"Menyayangiku? Kau bercanda? Lucu."

"Aku serius, dia menyayangimu lebih dari yang lain. Apalagi karena ibumu."

Tangan Aldrich mengepal seketika, kepalanya terasa mendidih karena amarah. "Jangan bawa-bawa ibuku."

"Tapi itu adalah fakta."

"Dia tidak menyayangi ibuku," ucap Aldrich yakin.

"Tidak, Jonathan sangat mencintai ibumu. Kau tidak tahu bagaimana besarnya cinta yang Jonathan rasakan."

Aldrich berdecih untuk yang kesekian kalinya. "Tapi yang dia lakukan tidak menunjukkan kasih sayangnya itu."

"Caranya berbeda."

"Tetap saja."

"Kau sendiri? Aku tidak yakin kau menyayangi wanitamu dengan normal. Biar kutebak, pasti banyak sayatan yang telah kau buat di tubuhnya."

Aldrich menoleh dan memicingkan matanya tidak suka.

"Benar kan? Kau selalu begitu sejak kecil. Ingat pohon apel yang ada ayunan talinya? Kau menyayat batangnya karena kau sangat menyukai pohon itu."

Aldrich mendesah, rasa rindunya jadi menumpuk, dan tak terbendung lagi. "Aku ingin pulang sekarang."

Aldrich beranjak, tetapi Benjamin menahan bahunya. "Tidak, kau masih ada satu pertemuan lagi. Ingat?"

Aldrich menatap Benjamin marah menyingkirkan tangan laki-laki itu dari bahunya dan berjalan menuju hotel.

Benjamin menggeleng maklum. Ayah dan anak sama saja, pikirnya.

My Psychopath Boyfriend (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang