Epilog

47.7K 1.7K 23
                                    

Pernikahan adalah sesuatu yang menyatukan dua hal yang asing yang lama kelamaan akan terbiasa dengan keadaan. Hari ini, setelah hampir 5 bulan pernikahanku dengan Raffa yang adem tanpa masalah. Akhirnya kami bisa bernafas lega.

Aku memperhatikan orang di sekelilingku yang ramai dan menutupi pandangan ke arah panggung pelaminan. Raffa di sampingku tak melepaskan tangannya memeluk pinggangku karena perutku yang sudah besar, takutnya aku terjatuh atau apa.

"Sayang, nggak apa-apa kan? Masih kuat?" tanya Raffa.

"Kita baru aja dateng, lho. Masih kuat kok. Aku mau ke sana, ke tempat Nevara," jawabku sambil menunjuk ke arah pelaminan.

Musik yang memenuhi gedung sedikit menggangguku dan tidak bisa mendengar jelas suara Raffa.

"Kita duduk aja dulu."

Tangan Raffa menuntunku untuk duduk lalu dia pergi mengambil minuman dan kue.

"Nggak mau, kenyang."

"Kamu dari pagi nggak makan apa-apa kok bisa kenyang? Tumben, biasanya kamu doyan makan," komentar Raffa lalu duduk di sampingku seraya menikmati kue yang tadi dia ambil.

Sebenarnya aku memaksakan diri untuk datang kesini dan Raffa pun sudah marah-marah melarangku. Aku sebentar lagi mau lahiran dan malah pergi ke nikahan seperti ini. Nafasku sekarang pendek-pendek jadi aku cepat lelah.

"Eh, kalian berdua datang?"

Aku menengadah dan melihat Tian berdiri di hadapan kami dengan setelan jas putih nya. Hem, jas putih ini sepertinya aku kenal.

"Bukannya kamu udah mau lahiran ya, kenapa masih maksa datang?"

"Berisik," jawabku sarkatis.

Raffa tertawa kecil. "Yah yah, susah ngurusinnya."

Aku menoleh ke arah Raffa dan memicing mata. Dia menyengir.

"Eh, kamu nggak punya baju lain ya?" tanyaku dengan ekspresi sok imut pada Tian.

Dia menyernyit. "Ha? Baju lain? Memangnya bajuku kenapa?" Dia melihat sekeliling bajunya.

"Jas itu... yang aku kasih dulu kan?"

Tian terdiam, lalu menyengir lebar. "Hehe, cuma ini jas yang masih bagus karena aku cuma pakai sekali. Jadi ya kan sayang kalau nggak di pakai lagi."

"Ekhem."

Kami berdua sontak menoleh ke arah Raffa. Ah, kami melupakan keberadaannya dan sibuk seperti kami ini dekat. Ah... ah... dia akan marah.

"Dih, gitu aja cemburu. Tenang, aku udah punya yang baru kok jadi berbahagialah."

Tian tersenyum sumringah lalu permisi pergi. Raffa tersenyum padaku.

"Nggak marah?" tanyaku usil.

"Untuk apa. Aku tahu istriku ini cuma cinta aku." Dia memeluk pinggangku dan mengecup bibirku cepat.

"Mas, ini depan umum lho."

"Nggak apa-apa hehe."

Aku tersenyum maklum melihat tingkahnya.

"Mas ingat nggak waktu awal pernikahan dulu?"

"Yang mana?" Raffa mengingat-ngingat.

"Dulu kita diam-diaman, bingung mau ngomong apa, tidur sama-sama rasanya nervous, sama-sama orang asing. Tapi sekarang, nggak nyangka kita udah kayak gini." Aku tersenyum kecil menatap ke dalam matanya.

"Iya, Mas juga nggak percaya takdir Mas bisa berjalan gini. Nggak pernah kepikir. Arika yang dulu Mas kira bakal sama-sama terus ternyata di ambil duluan dan Mas malah nikah sama adeknya."

Raffa merangkulku. "Semoga ini untuk terakhir kalinya. Mas nggak mau kehilangan lagi." Dia mencium dahiku lembut.

Aku tersenyum lebar. Tiba-tiba Tian memanggil dan menyuruh kami untuk menghampiri Nevara, Jason, dan dirinya yang berada di sofa tak jauh dari kami.

Raffa menarik tanganku untuk beranjak, namun tiba-tiba perutku terasa sangat sakit hingga aku tidak sanggup untuk berdiri.

"Sayang, kenapa?" tanya Raffa cemas. Dia menopang tubuhku.

"Mas, sakit." Aku meremas tangannya menahan mulas di perutku.

"Astaga, Sayang. A-air... itu air apa?"

Wajah panik Raffa semakin membuatku sakit perut.

"Ya air ketuban lah, air apa lagi. Mas cepetan, sakit." Aku meremas keras rambutnya kesal.

Jason dan Tian menghampiri kami dan ikut panik. Aku semakin pusing di buat mereka. Bukannya cepat-cepat membawaku ke rumah sakit malah teriak-teriak nggak jelas. Ya Tuhan, apa pria ini baru kali ini melihat orang mau lahiran ya?

"Ayo cepet, aku mau ngelahir! Astaga kalian malah panik sendiri."

"Sayang, kamu kuat. Tahan dulu, jangan ngelahir di sini."

Para tamu melihat kami bingung dan ada beberapa yang ikut membantu. Hingga akhirnya aku di bawa ke rumah sakit setelah membuang waktu mendengar kepanikan Jason, Tian, dan Raffa yang sama sekali tidak penting.

Rasa sakit yang luar biasa yang baru kali ini aku rasakan seperti hendak mengulitiku hidup-hidup. Sangat sakit sampai aku ingin pingsan. Namun setelah mendengar suara tangisan kecil, aku membuka mata dan rasa sakitku seakan terangkat.

Tak lama, rasa sakit kembali menjalari tubuhku. Anak kembar. Perempuan dan laki-laki. Aku menangis melihat kedua anakku yang akan di bersihkan. Aku merasa lelah dan sangat mengantuk. Aku hanya ingin tidur sebentar dan melihat kedua anakku.

-

Suara berisik membuatku membuka mata dan melihat sekelilingku yang ramai. Keluargaku dan teman-temanku. Dan juga anakku di gendongan Raffa.

"Ah, Sayang kamu sudah bangun. Lihat, anak kita." Raffa mendekatkan diri. Aku bisa melihat dengan jelas anakku.

"Yang mana yang perempuan?" tanyaku bingung, melirik ke arah Mama yang juga menggendong.

"Ini yang Mas gendong. Kira-kira mau di namakan siapa?"

Aku tersenyum. "Hem, siapa ya. Menurut Mas?"

"Kenapa nggak Tiara aja? Tissa Raffa," jawab Nevara. Ah aku baru sadar kehadiran mereka karena terlalu bahagia.

"Terus, yang laki-laki apa?" tanya Jason.

"Tian aja hehe," timpal Tian.

"Ku tolak," jawab Raffa dengan nada kejam. Wajah Tian berubah cemberut.

"Gimana kalau Tatiana sama Tiola?" usulku dengan senyum sumringah.

"Tiola untuk yang cowok? Mirip nama cewek," komentar Tian.

"Udah, namanya Tiana sama Tian aja. Bagus kan," lanjut Tian. Kali ini wajahnya berseri-seri bahagia.

"Iya itu juga bagus kok," ucap Jason dan Nevara bersamaan.

"Nggak ah, masa namanya Tian?"

Aku menghela nafas, Ayah satu ini tetap tidak mau menerima usulan Tian. Perdebatan nama ini pun terjadi di hari-hari berikutnya sampai aku keluar dari rumah sakit. Raffa sama sekali tidak mau mengalah dari Tian dan selalu menolak usulannya.

Dan akhirnya nama kedua anakku tidak ku ambil dari saran mereka, aku menamainya sendiri dan keputusanku tidak bisa di ubah lagi. Ekspresi mereka kecewa dan kesal, aku hanya tersenyum manis.

END

-

Extra sama sequel nyusul ya ^^
Nanti sequel ceritanya tentang anak perempuannya Tissa sama Raffa ^^

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 07, 2017 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

After The WeddingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang