23. Crazier

11K 648 15
                                    

2 tahun kemudian…

Sudah dua tahun belakangan ini ia memiliki kebiasaan menatap ponselnya yang terpampang fotonya dan Rissa dengan pandangan kosong. Pikirannya melayang kemana-mana. Mulai dari berandai-andai jika saat itu ia tidak membalas ciuman perpisahan Jesselyn sampai mengutuk dirinya sendiri karena tak becus mencari gadisnya itu.

Padahal ia sudah mengerahkan anak buahnya yang kualitasnya benar-benar tak bisa diragukan lagi untuk mencari informasi Rissa. Namun, hanya gelengan kepala saja yang ia dapatkan.

Mungkin selama setahun ia masih bisa mencoba mengatasi semuanya, tapi lambat laun kewarasannya seolah-olah mulai memudar karena usahanya untuk mencari gadisnya sama sekali tak membuahkan hasil.

Bahkan, setahun belakangan ini papanya mengambil alih semua pekerjaannya karena takut tiba-tiba perusahaan yang dulu ia rintis menjadi bangkrut tiba-tiba karena ulahnya. Terlebih lagi, papanya memanggil psikolog terkenal dari Rusia hanya untuk mengembalikan kestabilan emosinya yang benar-benar sudah kritis.

Ia meremas kasar rambutnya yang sudah mulai panjang. Segini fatalnya kesalahannya. Berkali-kali ia mengunjungi kosan Rissa yang hanya mendapatkan tatapan tajam dari Tania dan Risca, juga hantaman dari Alvan. Ia juga sering menunggui gadisnya saat jam pulang kampus, bahkan ia juga pernah berlarian mengejar gadis itu saat tak sengaja ia berjalan menelusuri kafetaria kampus walau akhirnya gadisnya menghilang di balik pintu trans Jogja.

Tiba-tiba saja ada sebuah tepukan lembut di bahunya. Membuatnya tersentak dan reflek menepis tangan itu. “Sorry, Cha.” Lirihnya begitu ia mengetahui bahwa istri kakaknya inilah yang menepuknya.

Yeah, mereka baru saja menikah setahun yang lalu. Tepatnya saat sebelum ia diasingkan dengan tim psikolog suruhan papanya. Kakaknya yang kurang ajar itu berani-beraninya membuatnya iri disaat ia sedang terpuruk.

“Kalo kalian jodoh pasti ketemu kok, Mar.” Tambah Racha sambil menyodorkan secangkir espresso untuknya. Ia memang tinggal di rumah kakaknya, mengantisipasi kalau ia kalap sewaktu-waktu, kata Kakaknya.

Oh great, kalo kita nggak ketemu itu berarti gue sama dia nggak jodoh?!” Sindirnya dengan tatapan sinis.

“Mario! Lo boleh marah, tapi jangan ke bini gue! Anak gue bisa kena imbas ntar.” Bah! Sejak kakaknya tahu bahwa Racha tengah hamil, ia langsung berubah cerewet. Bahkan si Racha aja kalah cerewet.

“Dari pada kamu marah-marah kayak cewek lagi dapet gitu, mendingan kamu ikut aku sama Kak Sanders ke Surabaya.”

“Jadi obat nyamuknya kalian gitu? Ogah deh!” Cibirnya sambil membenamkan kepalanya ke tumpukan bantal. Astaga, wajah manis gadisnya mulai berkelebat di otaknya.

 “Siapa bilang jadi obat nyamuknya kita? Aku nyuruh kamu ke Surabaya itu biar kamu nggak kebayang-bayang Rissa, Mar. You need some fresh air.”

Terdengar helaan nafas kasarnya. Mungkin Racha benar, ia butuh udara lain agar ia tak terus terbayang-bayang aroma gadis itu, kenangan yang ia tinggalkan. “Oke, aku ikut. Tapi aku tinggal di rumah papa yang disana aja.”

“Siapa yang nyuruh lo buat ikut tinggal dirumah mertua gue! Dasar kepedean deh nih anak!”

“Sensi banget sih lo, Kak!” Dengusnya kemudian membawa cangkir espressonya masuk ke dalam.

*=*=*=*=*=*=*=*=*=*=*=*=*=*=*=*=*=*=*=*

Mario mengacak rambutnya sebal karena pagi-pagi Racha membangunkannya dengan brutal hanya untuk menuruti keinginan si jabang bayinya yang menurutnya aneh itu.

Bagaimana tidak?! Saat ia baru bisa memejamkan mata satu jam sebelumnya perempuan itu datang ke rumahnya hanya untuk mengalami morning sickness ala ibu hamil dan memintanya untuk menemani ke cafe favoritnya baru-baru ini yang ada di daerah Pakuwon.

Lovey DoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang