ENAM PULUH TUJUH

173K 14.9K 415
                                    

Yura bisa dibilang sudah bosan kalau ditanya mengapa Aldrich tidak lagi hadir di kelas atau kuliah oleh orang lain, karena jujur ia bingung harus menjawab seperti apa. Yura sendiri juga tidak terlalu paham akan alasan Aldrich.

Lagipula Yura takut salah menjawab, berbuntut panjang dan akan menyebabkan pertanyaan-pertanyaan yang jauh lebih rumit dan tidak lagi bisa dijawab hanya dengan aku tidak tahu atau entahlah.

Cuaca siang ini tidak begitu baik, hujan turun cukup deras sejak tadi. Membuat mahasiswa-mahasiswa yang sudah tidak lagi memiliki jadwal kelas memilih diam di kantin dan menyesap cokelat, teh ataupun kopi panas yang bisa membuat suhu tubuh naik. Bau khas ketika hujan turun menguar sejenak dan menentramkan setiap hati yang ada dalam perasaan tidak karuan.

Yura duduk dalam lingkaran mahasiswi yang kini saling berbincang penuh semangat mengenai beberapa kejadian yang memang menarik dibicarakan hingga yang kurang penting. Beberapa dari mereka bahkan cekikikan sebagai respon yang dramatis, memecah suara rintik-rintik air hujan yang terdengar seperti menampar kaca jendela.

"Kau ingat peragaan busana yang diadakan kemarin malam? Si model jatuh karena salah melangkah!"

Wanita berambut merah itu tertawa terbahak-bahak, diikuti perempuan yang rambutnya dicat warna pirang.

Yura hanya tersenyum, sesekali menyesap cokelat hangat yang terasa begitu enak, mungkin efek udara dingin.

"Hei, Yura. Dari mana kau dapatkan kaus putih garis-garis biru itu? Aku menyukainya."

Yura menunduk, memperhatikan apa benda yang dimaksud Eve. Itu pakaian yang dibelikan Aldrich tempo dulu, saat kopernya belum diurus dan dikembalikan setelah Yura mencoba kabur ke Korea.

"Ini? Aldrich yang membelikannya. Dari pusat perbelanjaan dekat sini."

"Benarkah? Aku suka warnanya, pakaian itu juga cocok sekali di kulitmu yang putih," puji Eve dengan mata berbinar, dia memang suka memerhatikan dan menilai penampilan seseorang. Agak aneh ketika Eve justru memilih jurusan psikologi dibanding desain.

"Terima kasih," balas Yura.

"Eh, kalian tahu desas-desus itu?" Jane bertanya dengan​ suara yang setengah berbisik, anehnya justru membangkitkan rasa penasaran setiap mahasiswi yang duduk melingkar itu.

"Desas-desus?" Yura mengernyit, kepalanya segera mengingat A. Tetapi tidak mungkin, itu tidak mungkin ada hubungannya dengan desas-desus di kampus.

"Oh ya, katanya ada sesuatu yang mengerikan di sini," lanjut Jane, masih dengan nada yang dijaga agar terdengar misterius. Berhasil, hampir semuanya menjadi tegang.

"Hal mengerikan apa?" sahut Aida, perempuan berambut merah yang membicarakan soal model jatuh tadi.

"Katanya, tapi demi Tuhan kalian harus selalu berhati-hati setelah mendengar ini."

Eve berdecak, mulai tidak sabaran. "Cepat katakan."

"Jadi begini, para mahasiswi harus selalu waspada, karena sesuatu yang mengerikan sedang mengincar kita!" Jane menambah efek ketegangan dengan ekspresi wajah yang dibuat seperti ingin menangis.

Dalam hati Yura ingin mencibir, ia sudah melewati berbagai hal mengerikan. Tetapi sayangnya, masih ada satu masalah. Tentang A.

"Apa yang mengincar kita?" Eve jadi berbicara dengan setengah berbisik, mengikuti cara bicara Jane semula.

"Seorang pembunuh! Dia suka membunuh wanita-wanita muda terutama gadis Asia."

Semua pasang mata langsung tertuju pada Yura yang kini membelalak kaget.

"A-apa?" Yura berseru dengan intonasi tinggi.

"Dia memiliki langkah yang berat. Terdengar aneh, ketika semakin dekat, semakin dekat, semakin dekat ...."

Sepertinya, mereka semua sedang dalam puncak ketegangan, apalagi Yura yang tengah menghadapi masalah dengan laki-laki misterius A dan ditambah lagi Jane yang menyinggung perempuan Asia.

Ketika tiba-tiba sebuah gelas pecah terdengar, kelima gadis itu menjerit kaget. Yura bahkan hampir jatuh terjengkang ke belakang, wajahnya pucat pasi sekarang. Menyesal mengapa harus ikut mendengarkan penuturan Jane dengan serius.

"Dari mana sebenarnya kau tahu hal seperti ini, Jane?" hardik Eve yang juga tidak nyaman.

"Entahlah, yang lain juga membicarakan hal ini." Jane menjawab enteng, seolah ketegangan tadi hanya angin lewat.

"Kau membuatku benar-benar takut," ucap Yura sebal.

"Maaf, aku hanya memberitahu saja."

"Untuk apa dia harus membunuh wanita muda? Tidak masuk akal." Aida menggeleng, tidak percaya meskipun sebelumnya sempat ikut tegang juga.

"Aku tidak percaya," ungkap Maria, teman Aida yang sedari tadi hanya ikut menjerit dan bungkam setelahnya.

"Kau harus hati-hati, Yura. Entah mengapa aku merasa khawatir." Eve menepuk pelan lutut Yura.

"Aku akan selalu berhati-hati meskipun tanpa mengetahui desas-desus bodoh ini," balas Yura setelah mengembuskan napas pelan.

"Kadang-kadang hal seperti ini cuma bualan saja, hanya cara bersenang-senang orang iseng. Jangan terlalu dipikirkan," seru Aida, mengungkapkan pendapatnya.

"Bagaimanapun juga aku sudah memikirkannya, terima kasih, Jane," sindir Yura. Jane hanya mengangkat bahu.

Yura mendesah pelan, tak terdengar. Hujan mulai beralih menjadi gerimis kecil yang tetap saja tak mengenakkan jika terpaksa berjalan tanpa payung, padahal ia ingin segera pulang saja dan berlindung di tempat tinggalnya yang nyaman. Dave juga ada di sana, sebagai seseorang yang bisa menemani. Tetapi tetap, Yura mengharapkan Aldrich juga ada di sana.

Yura tiba-tiba merindukan pelukan kokoh itu, kecupan Aldrich di dahinya, atau sekadar menghirup udara di ruangan yang sama dengan Aldrich.

"Sepertinya aku harus pulang duluan. Awas saja jika aku bermimpi buruk gara-gara desas-desus yang kau bicarakan," ancam Eve sembari menunjuk wajah Jane.

"Aku juga."

Yura ikut bangkit, tersenyum tanda pamit dan menolak ketika Eve menawarinya pulang bersama.

Yura melangkah pelan-pelan saja, takut tergelincir dan terjatuh dengan posisi memalukan di tengah-tengah mahasiswa-mahasiswa lain yang mulai berjalan keluar dari daerah kampus setelah merasa hujan mulai aman ditembus.

Anehnya pejalan kaki di trotoar cukup sepi, mungkin kebanyakan memilih transportasi umum saja sebagai pilihan agar lebih cepat sampai. Yura tidak mengambil keputusan serupa karena menurutnya berjalan kaki malah bisa lebih cepat.

Ketika berbelok di tikungan pertama, Yura membayangkan apa yang akan ia masak dan makan nanti. Sesuatu yang tentunya hangat, mengingat cuaca masih belum berubah. Tentu saja tidak akan bisa langsung cerah dalam waktu singkat.

Perasaan tidak enak singgah ketika Yura merasa ada sesuatu yang akan menghantamnya dari belakang, ia menelan saliva kasar dan mencoba mengenyahkan perasaan tersebut.

Tetapi prasangka itu benar ketika ada sebuah mobil yang hampir menabraknya jika saja Yura tidak cepat-cepat menyingkir ke samping sembari menutup mata penuh ketakutan. Mobil itu kembali melaju dalam kecepatan tinggi dan meninggalkan Yura begitu saja.

Apa tadi ia hampir saja ditabrak dengan sengaja? Mobil itu bisa terkendali dengan baik.

Yura tidak bisa menebak-nebak lagi karena beberapa orang mulai menghampiri dan berseru untuk membawanya ke rumah sakit.

Yura mencengkram pagar hitam, mendesah pelan. Bawa saja ia kemanapun asal aman, asal semuanya akan baik-baik saja.

***

Ini kok niatnya pengen dicepetin tamat kok malah makin panjang sih wkwk.

Ok, see you.

My Psychopath Boyfriend (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang