y; program

954 116 22
                                        

"Tahan napas, Hay, yang dalem. Duh keringet kamu kemana-mana gini, sayang," Hanbin ngusap peluh aku.

Dan aku sendiri masih ngelakuin intruksi dari dia.

Tapi aku udah nggak kuat, perut aku udah kontraksi sejak tadi. Kepalaku pusing. Sesusah ini ya jadi istri.

"Minum, Bin," kataku. Sambil tanganku menggapai segelas air dingin di atas meja.

"Jangan. Minum air dingin nggak bagus buat kesehatan, Hay," Hanbin menolak secara halus.

"Terus aku kudu gimanaaaaa?"

"Kamu tahan ya. Tarik napas, buang. Tarik lagi, buang."

"yAA FUNGSINYA APA KAN AKU KEPEDESAaAaNNN BUKAN LAGI LAHIRAAANNN!!!!"

Teriakanku langsung membuat Hanbin tersenyum simpul. Senyum jahil yang belakangan aku lihat di wajahnya.

Kebiasaan Hanbin yang baru tuh ya jailin aku melulu. Sedih. Kok resenya dia baru keliatan sekarang malahan.

"Ya anggep aja simulasi, Hay," katanya santai.

"Simulasi apaan?"

"Hmmm, simulasi kalau hamil nanti," dan dia berucap kayak gitu tanpa ada raut bersalah.

Dikira melahirkan itu gampang apa? Kan kudu taruhan nyawa juga nantinya.

Yang bikin kesel tuh, pas lagi makan nasi goreng gini, si Hanbin sok sok pake minta dipedesin. Padahal kalau nggak habis nasinya dikasih ke aku.

"Bulan madu yuk," nah kan addaaaa aja yang dibahas.

"Ngapain? Kita kan udah sering ke luar negeri bareng," kataku sambil nyuci piring.

Tiba-tiba, Hanbin meluk aku dari belakang. Udah nggak kaget sih, udah kebiasaan dia tiap pagi.

"Aku pengen punya anak, Hay."

"Terus karir aku gimana, Bin?"

"Emang kamu nggak pengen gitu punya momongan? Kita hampir setahun nikah. Dan mama-mama kita pada berisik minta cucu."

Aku membalik badan, melihat mata Hanbin dengan seksama.

"Mama yang minta, apa kamu yang minta?" tanyaku.

"Awalnya Mama yang minta, tapi kalau dikasih, aku mau juga. Aku udah bayangin kita punya banyak foto sama anak pertama kita. Baju pertama. Kamar pertama, yang ruangannya bakal aku cat sendiri."

Aku tersenyum sendiri melihat Hanbin mulai berceloteh. Dia memang manis. Aku nggak pernah bilang Hanbin itu tampan, tapi sekalinya kamu berada di sekitarnya, kamu akan merasa nyaman.

Walau hanya karena merasakan kehadirannya saja.

"Jadi, kita buat anak pertama kita?" tawarnya padaku.

"Boleh."

"Sungguh, Hay?"

"Iya."

Hanbin langsung menggendongku. Berputar di sekitaran dapur. Mengecup kening, mata, pipi, hidung, dan bibirku berkali-kali.

Hingga kami berada di ranjang milik kami.


























Maaf, telat update. Semoga nggak lupa sama cerita ini. Dan semoga masih ada yang suka.

Makasih buat kalian yang sudah baca. Ini menuju end ya hehehe.

Happy reading~

no sense; hanbin ➕ hayiWhere stories live. Discover now