Prolog

26.8K 938 4
                                    

"Jangan menyentuhnya!" Pekik sang Chairman pada pria di depannya.

Pria itu justru mendengus geli melihat adiknya membentaknya demi seorang gadis.

"Apa-apaan kau Arman? Meneriakiku hanya demi gadis sepertinya?" Pria itu menyungingkan senyum miringnya.

"Tidak ada hubungannya dengan kakak. Lagi pula ini bukan wilayahmu kak,"

"Oh ya? Ini masih perusahaan Dimitra. Dan aku juga seorang Dimitra, Arman,"

"Tapi, kau menolak perusahaan ini. Jadi, ini bukan wilayahmu,"

Pria itu mendengus lagi. Dia melepaskan cengkramannya dari gadis di sebelahnya. Lalu, dia berjalan ke arah sang adik

"Temui aku di blue light nanti malam," bisiknya sebelum dia menepuk bahu sang adik pelan dan berlalu dari sana.

"Kau baik-baik saja?" Tanya sang Chairman.

"Ya pak. Saya baik-baik saja,"

Arman mengangguk dan mendesah lega.

"Kembali ke ruanganmu..."

"Pak, laporannya," ujar Natasha sambil menyodorkan laporan keuangan dari bagiannya magang.

Arman mengambil map berisi laporan itu.

"Kembali ke ruanganmu. Kalau ini sudah aku periksa akan aku suruh Hans mengantarnya,"

"Baik pak. Saya permisi,"

Blue light

Suara dentuman musik yang sangan keras menyambut kedatangan Armano ke blue light. Arman mencari keberadaan kakaknya. Dia melihat sekretaris sang kakak berdiri di dekat pintu khusus. Arman menghampirinya.

"Dimana dia?"

"Tuan Deo ada di atas tuan. Mari saya antar,"

Arman hanya mengangguk. Dia mengikuti sekretaris sang kakak menuju ke ruangan VIP yang lebih sepi dan tenang.

"Sudah datang Arman?"

"Langsung saja kak, apa tujuanmu ke kantor tadi?"

"Hm... Hanya mengingatkanmu untuk menjaga gadismu. Seseorang mengincarnya semalam,"

"Apa maksudmu? Siapa pula gadisku yang kakak maksud?"

"Siapa lagi? Tentu saja Natasha Wijaya,"

"Kakak!" Pekik Arman dengan wajah merona

"Jangan berwajah begitu di depan papi, atau kau akan menjadi bahan bully-annya!"

"Berwajah seperti apa?!" Ketus Arman justru membuat sang kakak tertawa geli.

"Berhenti tertawa!"

Sang kakak masih tertawa.

"Hentikan Deo Ardano Kenneth Dimitra!"

Sang kakak, Ardan masih sibuk tertawa.

"Santai saja, tidak perlu meneriaki nama lengkapku begitu," ujar Ardan saat dia sudah bisa mengatur napasnya.

"Kalau sudah tidak ada kepentingan lagi aku permisi," ujar Arman.

Ardan hanya mengangguk.

"Ah, kak..." Panggil Arman.

"Hn,"

"Besok pulanglah ke rumah. Meski kau sering tinggal di apart mami, jangan lupa pulang besok,"

"Hn. Aku ingat. Lebih baik kau ingatkan Arsen,"

"Ah iya, benar. Lebih baik aku ingatkan Arsen untuk mengosongkan jadwalnya besok,"

"Berdoalah semoga dia tidak ada jadwal operasi besok,"

"Ya, semoga,"

"Arman,"

"Hm?"

"Bagaimana dengan Alesha?"

"Baik. Dia sering menemani papi ke di pusat,"

"Ah benar juga, kantor yang kau jalankan adalah kantor cabang,"

"Dasar kau ini,"

"Salahkan Papi, membuka cabang yang sangat besar seperti itu,"

Arman menatap kakak sulungnya. Dia menghela napas dan menghampiri sang kakak.

"Arman?" Tanya Ardan heran saat Arman memeluknya.

"I miss you and mami" ujar Arman.

"Heh? Kau sakit?" Tanya Ardan.

"Aku lelah kak," bisiknya.

Ardan mengerti dia menepuk pelan punggung adiknya.

"Aku antar. Mobilmu titip saja pada Jim," ujar Ardan.

Arman mengangguk. Dia memberikan kunci mobilnya pada sekretaris sang kakak. Dia sendiri ikut dengan sang kakak ke  mobil camry milik sang kakak.

"Tak jadi ke apart?" Tanya Arman.

Ardan menggeleng.

"Aku rasa aku pulang lebih awal,"

Arman terkekeh sebelum dia memilih menutup matanya dan tertidur untuk mengurangi rasa sakit di kepalanya.

"Dasar manja," bisik Ardan sambil meletakan punggung tangannya di dahi sang adik yang berwajah sangat mirip dengannya.

"Demam," gumam Ardan.

[DS#2] Between Me, You and WorkTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang