The Gifted 15 (1)

1.3K 90 21
                                    

Kompetisi adalah nyawa, termasuk bagi makhluk-makhluk yang belum lama mendiami muka bumi dan cukup mencerap untuk memahami cara kerja dunia. Tanpa berlari di lintasan pacu, seseorang tidak bisa disebut hidup dengan sesungguhnya; jantung yang berdenyut, otak yang diperas, dan perasaan yang ditendang jauh-jauh merupakan pokok dari tiap potong usia, begitulah kira-kira mayoritas populasi negeri ini berprinsip. Menimbang keteguhan mereka dalam memegang sebuah konsep yang dipercaya membawa kemajuan, tentunya tidak mengherankan jika persaingan dalam negeri sedemikian ketatnya sampai orang-orang yang terlibat di dalamnya menjadi gila, sedikit banyak. Ditinjau secara kolektif, persaingan ini mungkin mendatangkan laba, mengantarkan negara pada keadaan surplus, tetapi efek sampingnya, tidak ada yang peduli pada luka-luka para manusia salah cetakan maupun yang dilabeli gagal. Proses kehilangan signifikansi; segala hal selalu berorientasi pada hasil. Lebih parahnya, sistem sosial terkini membuat stereotip kesuksesan yang tidak bisa diikuti tunas-tunas muda dengan beragam bakat mereka.

Masa sekolah, di mana para remaja mestinya dituntun menuju jati diri dewasa muda yang sejati, justru menjelma menjadi pabrik tenaga kerja yang semuanya serupa. Seluruh tahap pendidikan di negeri ini tak ubahnya loyang, siswa-siswanya adalah adonan siap cor. Begitu lulus, mereka semua harus punya spesifikasi yang sudah ditentukan secara nasional. Tidak persis sama dengan standar? Siap-siap saja dicap produk rusak. Selain itu, jangan disangka proses pencetakan itu cuma sekali; lolos dari cetakan satu bukan berarti akan lancar melalui pengepresan berikutnya. Ingat, yang remuk bakal jadi bahan ejekan seantero pabrik, sampai mati, tak ada ampun. Beberapa cetakan sangat berbahaya, bisa memotong-motong hingga mencincang, sampai-sampai sekian adonan semen tidak berani melaluinya. Cetakan legendaris ini berada di antara jenjang pendidikan menengah atas dan pendidikan tinggi, cetakan yang akan menentukan bentuk adonan hasil adukan selama dua belas tahun. Ya, dari sekolah dasar mereka menyiapkan untuk hari di mana mereka bertarung dengan jutaan calon mahasiswa. Pertandingan di arena kognitif diinisiasi amat dini dalam negeri ini, walaupun penilaian dilakukan pada waktu yang masih jauh dari saat peluit ditiup.

Jalur pacu Seoul Global High dinobatkan sebagai salah satu 'jalur maut' di taraf menengah atas, sekalipun dikelola oleh pihak swasta yang notabene dimotori para pebisnis alih-alih pendidik.

Menyandang peran baru sebagai siswa tingkat akhir saja sudah mendatangkan beban tersendiri di bahu-bahu siswa SMA, apalagi jika ada embel-embel 'internasional' dan 'top' mengikuti mereka. Seoul Global High masyhur bukan karena prestasi saja, melainkan juga karena program penerimaan pelajar asing, baik dari jalur beasiswa ataupun pembiayaan mandiri, yang otomatis menambah rintangan bagi pelajar-pelajar dalam negeri pengejar suneung alias ujian masuk perguruan tinggi. Kehadiran pelajar asing mengurangi kesempatan untuk memperoleh bimbingan intens menyongsong suneung, tetapi di lain sisi, ini menciptakan iklim kompetisi yang lebih relevan untuk menyetel para lulusan supaya berstandar multinasional. Menembus serangkaian ujian pramahasiswa jadi semakin susah, maka tampak gugup adalah lazim bagi murid kelas tiga baru, meski bunga ceri yang bermekaran di awal tahun ajaran baru sedang cantik-cantiknya.

Sehelai mahkota sakura dari pohon dekat gerbang besar sekolah mendarat lembut di satu kepala yang seindah dirinya, gadis cerah berhias optimisme. Di mata dara delapan belas tahun berambut lurus sepinggang itu, angin musim semi masih dikelir merah muda oleh bebungaan. Binar manik cokelat gelapnya menyuarakan semangat yang sama dengan kilatan tanda pengenal pada sisi kiri jas almamaternya, bertuliskan tiga huruf hangul: 'Choi Yuna'. Sebelumnya menempati bangku 2-C dan harus mengalah pada senior di kantin, Yuna—begitulah si jelita nan semampai dipanggil teman-temannya—patut berbangga karena ia telah tiba di puncak hierarki. Kelas tiga! Tidak ada yang bisa menggesernya kala bersantap, murid-murid baru pun akan bersikap sopan padanya. Bukannya Yuna gila hormat; jadi siswa kelas tiga termasuk pencapaian juga, bukan? Tidak mudah, lho, menginjakkan kaki di anak tangga tertinggi dengan atmosfer semenyesakkan Seoul Global High ini.

Rough ✅Where stories live. Discover now