Bab 19

109 52 0
                                    


Tisya

"Dan Cika ini adalah mantanku."

Deg

Seakan petir dengan ribuan volt menyambar hatiku. Cika ini adalah mantanku, pernyataan itu berlari-lari di pikiran dan telingaku. Pantas saja perempuan ini memanggil Tristan dengan sebutan itu, ternyata mantannya. Pasti perempuan ini adalah orang yang pertama kali menyebutkan panggilan itu di depan Tristan. Dia sangat cantik sekali, tidak sepertiku.

"Oh iya, nanti kita jadi nonton 'kan? Kau sudah janji ingin menemaniku nonton hari ini?" Cika mengalihkan tatapan ke Tristan dengan tatapan memohonnya. Tristan mengangguk. "Iya jadi, bel pulang berbunyi kamu ke kelas aku saja kalau aku nggak ada di kelas kamu langsung ke mobil aku saja."

Cika mengangguk antusias. Dia menoleh ke arahku, "Untuk hari ini aku pinjam Tristan dulu ya. Mungkin agak lama untuk melepas rasa rindu sekalian. Nggak apa 'kan Tisya?" Aku menganggukkan kepala.

Panas dan perih mulai menguasi mataku, berkaca-kaca. Menyadari kalau sebentar lagi cairan bening akan tumpah aku langsung pamit kembali ke kelas. Di dalam kelas yang lengang aku hanya bisa menangis sambil menutup mulutku agar isakannya tak dapat terbawa oleh semilir angin. Untuk yang kedua kalinya aku menangis karena Tristan. Tapi yang ini jauh lebih sakit dari sebelumnya. Bagaimana tidak? Apa ada seorang perempuan yang tidak menangis jika pacarnya jalan berdua dengan mantannya? Apa ada seorang perempuan yang tidak menangis saat mantannya memanggil pacarnya dengan panggilan 'spesial?' Saat aku melihat Tristan yang dapat langsung ditenangkan oleh Cika dan saat aku melihat Tristan mengenalkan Cika adalah mantannya padaku, wajahnya hanya memancarkan kebahagiaan yang tidak pernah kulihat saat dia bersama denganku. Ya aku sadar siapa diriku dan apalah dayaku untuk bersaing dengan perempuan yang dikategorikan sempurna seperti Cika? Walau memang tidak ada manusia sempurna di dunia ini. Mereka berdua memang pasangan yang 'serasi'.

Pulang sekolah aku memutuskan untuk mengunjungi ibu saja di rumah sakit, aku ingin menumpahkan rasa sedihku padanya. Sesampainya di sana, aku langsung diperdengarkan oleh bunyi detakan jantung ibu. Aku duduk di samping tempat tidur ibu dan menggenggam erat tangan ibu yang tidak ada infusannya. Entah sejak kapan air mataku lolos bahkan pipi sudah di banjiri air mata, aku sendiri tidak menyadari kapan air mataku mengalir.

"A..aku merindukan ibu, ka..pan ibu bangun bu? Sudah lima bulan lamanya ibu tak kunjung sadar. Sebe..ntar lagi aku akan lu..lus, apa ibu tak ingin bangun untuk mengucapkan se.selamat padaku? Apa ibu juga tak i..ingin bangun u..ntuk mendoakanku? Bangunlah bu, aku membutuhkanmu" aku berbisik lirih di telinga ibu.

"Aku menyayangimu bu, sangat. Walaupun tak sebesar cintamu padaku" bisikku di telinganya. Ibu memang koma, tapi aku yakin sekali kalau ibu bisa mendengar perkataanku. Kalau seandainya ibu sadar, aku pasti meminta solusi dan kekuatan padanya soal Tristan. Tapi kali ini ibu yang lebih membutuhkanku untuk menyemangatinya melawan penyakit itu.

***

"Tisya, kau ini jahil sekali ya. Lihat ini, wajah ibu pasti sangat cemong" ibuku menggerutu karena baru saja kuolesi tepung pada wajahnya dan juga cream putih. Cemong sekali.

Aku tertawa melihat wajah ibu yang sangat kesal itu. "Jangan dioleskan cream lagi dong Tisya, nanti wajah ibu jadi jelek" ibu mengerucutkan bibirnya. Lucu sekali.

"Nggak apa-apa ibu jelek, aku nggak keberatan. Justru aku bangga punya ibu yang super duper baik dan kuat kayak wonder woman ini" aku memeluk ibuku erat sekali dan ibu juga membalas pelukanku.

"Aku sangat mencintaimu" ucap kami bersamaan di sela-sela pelukan kami.

Hampir tujuh tahun ibu membesarkanku seorang diri tanpa sosok suami yang membantunya. Tubuhnya yang mungil, kulit kuning langsatnya yang sudah mulai kecokelatan karena berkerja bolak-balik terpapar sinar sang surya. Matanya yang bulat di hiasi bulu mata lentik, hidungnya yang mungil. Wanita ini sempurna dan juga hebat sekali, malaikat yang di kirim Tuhan tanpa sayap untuk merawatku. Aku sangat menyayanginya. Terima kasih atas ibu yang tangguh luar biasa seperti ibuku, Ainun. Dia adalah tujuan utamaku untuk terus menggapai cita-cita agar ada yang bisa dibanggakan dari aku, anak sematawayangnya.

Contract Couple ✔Hikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin