32; Why Not Me?

9.3K 1.4K 49
                                        

Jangan lupa tinggalkan vomment ya gengs tq :)












































Kelopak mata gue perlahan terbuka, pusing yang gue dapat setelahnya. Sejenak merintih kesakitan sebelum sadar bahwa gue tidak berada di rumah. Gue melihat sekeliling gue, dan berhenti pada sebuah tiang infus yang terpampang jelas di samping badan gue.

"Udah bangun?" suara berat seseorang membuat gue mengalihkan pandang.

Daniel di hadapan gue dengan kemeja teratas terbuka dan dasi kelam yang sudah tidak berbentuk. Raut wajahnya menunjukkan bahwa dia tidak baik-baik saja, gue yakin akan hal itu.

Gue hanya mengangguk pelan menjawab pertanyaan Daniel.

Tangan Daniel menyentuh pipi gue dan mengelusnya perlahan. "Lo gak kenapa-napa, kan?" tanya Daniel sarat akan kekhawatiran.

"Harusnya itu yang mau gue tanyakan." ucap gue agak sinis setelah mengetahui luka segar yang terdapat di pelipis Daniel, dan gue baru sadar akan hal itu.

Gue mencoba bangun dari posisi tiduran dengan dibantu Daniel. Setelahnya, fokus gue teralihkan pada luka di pelipis Daniel, tidak banyak, tapi cukup buat gue khawatir setengah mati. Gue sudah berucap bahwa nggak mau lagi liat Daniel terluka, walau sekecil apapun itu.

"Ini kenapa?" tanya gue sembari menyentuh luka tersebut. Daniel hanya memandang gue tepat pada kedua bola mata gue.

"Lo janji gak akan terluka lagi, Kak." kata gue dengan sedih.

Daniel justru membawa gue ke dalam pelukannya. "Lebih dari itu, gue takut lo kenapa-kenapa tadi, gue merasa gagal jagain lo, Di." kata Daniel menenggelamkan wajahnya pada bahu gue.

Gue tersenyum sembari menepuk punggung lebarnya. "Gue baik-baik aja, lo gak usah sekhawatir itu, Kak."

Daniel melepas pelukannya. "Tidak akan, jika tidak terjadi apa-apa sama lo."

Gue menangkup pipi Daniel dengan kedua tangan gue. "Tolong jaga janji lo, Kak."

Daniel yang paham maksud perkataan gue justru meraih tangan gue dan menggengamnya. Setelahnya, mengangguk mencoba meyakinkan gue kalau dia bisa menjaga janjinya itu, gue harus paham. Sulit untuk mengendalikan diri tentang apa yang sudah dialaminya. Namun, gue melakukan itu karena gue sayang sama Daniel, gue nggak mau dia kenapa-kenapa, terlebih jika itu karena gue.

Daniel mendekatkan wajahnya, bibirnya mendarat tepat pada dahi gue. Ini kali kedua gue merasakan bahwa Daniel memang serius akan perasaannya terhadap gue. Dan, gue lebih dari senang mengetahui hal itu terjadi. Gue menunggu dengan tidak sia-sia.

"Gue merasa amat lega lo gak kenapa-kenapa." ucapnya disela bibir yang masih menempel pada kening gue. Dia kembali mengecup singkat kening gue sebelum menjauhkan wajahnya.

"Tapi, omong-omong, Jihoon di mana, Kak?" entah kenapa gue menanyakan hal tidak penting seperti ini. Namun, setidaknya gue harus berterima kasih karena Jihoon dengan cepat menarik gue dari arah jalan walau tanpa sengaja gue memeluknya.

Tanpa gue duga pertanyaan yang gue lontarkan, membuat wajah Daniel berubah muram, yang tadinya ia menunjukkan raut sayang terhadap gue.

"He left a few minutes ago." jawabnya datar lalu berdiri dari ranjang.

"Gue mau tebus obat dulu."

Sebelum Daniel benar-benar berbalik arah, gue segera mencengkeram tangannya, membuat ia menatap gue dengan alis bertaut.

Bae • DANIEL ✔Onde histórias criam vida. Descubra agora