[S2] Chapter 3 : Pertemuan

325 47 6
                                    

Aku menenggelamkan wajahku ke dalam bantal. Sedari tadi pintu kamarku terus diketuk oleh pelayan-pelayanku. Namun tak ada satu pun dari mereka yang tidak kuacuhkan. Apakah mereka tidak mengerti kalau putri mereka ingin menyendiri?

Aku tidak peduli sudah berapa jam aku mengurung diri di kamar. Tapi yang jelas untuk sekarang aku masih terlalu takut untuk pergi keluar. Hanya dengan mengingat kejadian siang tadi, seketika lututku langsung bergetar takut.

Ferdinand Troxe terkutuk! Aku harap dia enyah saja!

Kemudian pintu kamarku mulai bergetar. Dan dari luar aku mendengar suara seseorang yang sedang mencoba mendobrak pintu kamar dengan kasar. Aku pun tersenyum miring. Apapun yang pelayan-pelayan itu coba lakukan diluar sana tak akan berguna. Pasalnya aku telah melapisi pintu kamarku dengan lapisan es.

Dan... hanya aku yang bisa mencairkan lapisan es tersebut.

"Tuan putri, kami mohon keluarlah!" pinta salah satu pelayan.

"Tidak akan!!" balasku membentak.

"Tapi, semua mengkhawatirkan dirimu, Tuan Putri," ujar seorang pelayan yang lain.

"Semua katamu? Maksudmu para pelayan? Orang tuaku nampaknya tidak peduli, tuh!" cibirku.

BRAKK!!

Mataku melebar kaget begitu pintu kamar tiba-tiba terbuka lebar. Kini aku berdiri di samping ranjang sembari mengumpulkan energi mana di telapak tanganku. Bersiap membekukan siapapun yang telah seenaknya membuka pintu kamarku.

Tapi niat tersebut seketika urung ketika aku mengetahui siapa sosok yang telah berhasil membuat pintu kamarku terbuka. Surai merah muda miliknya ia biarkan tergerai sampai menyentuh pinggang. Dan kini, kedua maniknya menatapku tajam.

"Ma-mama?" gumamku terbata.

"Yuki, sebenarnya apa yang sudah terjadi padamu?" tanya sosok itu, mamaku.

..."Yuki, jika kau membocorkan rahasia kecil kita, aku akan menyerang negeri berhargamu." Sosok pemuda itu menyeringai tipis kepadaku...

Aku menenggak salivaku perlahan. Kepingan ingatan tentang kejadian siang tadi membuatku terpaksa membungkam mulut.

"A-aku hanya ingin sendirian untuk waktu yang lama," jawabku pelan.

"Kau tidak boleh seperti itu, kau tahu?" Mama bertanya balik dengan nada mengintimidasi.

"Tcih. Kau melakukan ini bukan karena kau peduli padaku, kan?" ucapku miris.

"Apa maksudmu?" tanya mama. Keningnya berkerut.

"Selama ini mama dan papa tidak pernah ada untukku. Kalian selalu sibuk dengan urusan kerajaan. Aku benar-benar muak sekali," ungkapku.

"Yu-ki?" gumam mama tercekat.

"Jika suatu hari Ebetopia diserang oleh kerajaan lain lalu mereka menculikku, aku yakin kalian tidak akan menyelamatkanku!" bentakku pada akhirnya.

Setelah puas mengatakan kalimat-kalimat yang entah sudah sejak kapan terkubur di dalam diriku tersebut, aku pun segera melompat keluar jendela. Kamarku memang terletak di lantai lima. Tapi tenang saja, aku bisa mengatasi hal tersebut. Aku belum mau mati sekarang.

"Teleporta!" seruku. Dan dalam beberapa detik kemudian aku pun tiba di atas tanah tanpa terluka sedikit pun.

Aku berjalan pelan menuju ke kandang kuda kerajaan. Melepaskan tali pengikat dari salah satu kuda berwarna emas. Seingatku kuda itu sudah ada sejak aku masih kecil. Dan saat umurku lima tahun, aku memberikan nama 'Goldie' untuknya. Terdengar seperti nama untuk seekor ikan emas, bukan? Haha.

"Goldie, ayo kita pergi ke Hutan Magia!" ujarku sembari menungganginya.

Goldie meringkik seakan ia baru saja membalas ucapanku. Kemudian ia berlari menuju hutan. Membawa seorang putri yang malang di atas punggungnya.

Aku turun dari kudaku. Tekadku sudah bulat. Aku akan menolak lamaran Ferdinand meskipun ia sudah menandaiku sebagai istrinya dengan ciuman sialan itu. Dan itu berarti, Ferdinand beserta kerajaannya akan menyerang Ebetopia begitu aku mengabarinya akan hal ini.

Tapi aku tidak akan memberi tahu siapapun. Dengan tanganku sendiri, aku janji akan menyelesaikan masalah yang telah kubuat ini. Fuhh.., untuk itu mulai sekarang aku akan berlatih untuk menajamkan sihirku di hutan ini.

Ku arahkan tangan kananku ke depan. Sambil mencoba berkosentrasi, kukumpulkan energi mana di telapak tangan.

Kemudian dengan satu serangan cepat, pohon apel yang tumbuh di depanku membeku. Seluruh bagiannya berubah menjadi putih seperti kristal. Meskipun sekarang adalah musim panas namun sihirku es milikku tak akan meleleh begitu saja.

Yahh, hanya aku yang dapat melelehkannya.

"Ehhh? Kekuatanmu luar biasa!" seketika terdengar suara anak laki - laki diantara rimbunnya pepohonan.

"Siapa itu?" tanyaku memastikan. Samar-samar kulihat surai merah menyala disana.

Tak lama kemudian muncul di hadapanku seorang anak laki - laki. Usianya kira - kira sama sepertiku, lima belas tahun. Ia tersenyum. Dan kulihat taring mencuat dari sudut bibirnya.

"Kamu vampir?" tanyaku hati - hati. Berusaha tidak melukai hatinya.

Yah.. masyarakat bilang, ras vampir adalah ras terkutuk yang sangat berdosa. Orang - orang menjauhinya dan nampak anti dengan ras mereka.
Sungguh malang. Aku kasihan pada mereka.

"Ya, begitulah," jawabnya canggung.

"Bukankah kamu Putri Yuki?"

Aku mengerjapkan mataku. Lalu tersenyum.

"Kau mengenalku rupanya. Jadi siapa namamu?" ucapku.

"Namaku Natsu Rhitmero. Senang berkenalan denganmu, Yang Mulia!" ujarnya sambil membungkuk hormat.

"Ohh, baiklah," balasku acuh tak acuh.

"Jadi apa yang sedang kau lakukan disini? Kau sekarang berada dekat dengan kawasan Desa Batware, lho," ucapnya sembari menyeringai.

Aku menatapnya datar. Selebar apapun seringainya itu dan setajam apapun taring yang dia punya, aku tak akan pernah takut dengannya. Aku tidak tahu kenapa, tapi aku merasa ada sesuatu yang berbeda dari Natsu.

"Oh ya? Lalu apa yang kau harapkan dariku? Menangis dan memohon?" cibirku sembari memutar bola mata.

"Emm kurasa boleh juga," ujarnya menyeringai jahil.

"Ah, aku tahu! Kau pasti berharap bisa meminum darahku, bukan?" cibirku lagi.

Tidak seperti sebelumnya, kini ekspresi Natsu berubah. Ia tersentak kaget sembari menutup mulutnya dengan tangan. Dan wajahnya pun mulai bersemu merah. Eh, ekspresi yang cukup aneh. Apa dia marah karena aku menyinggungnya soal 'minum darah' ?

"B-b-bodoh! Aku tidak mungkin melakukannya!" serunya salah tingkah.

"Baiklah, aku minta maaf. Aku jan-" ucapku terputus oleh kalimat Natsu.

"Jika aku meminum darah lawan jenis, itu artinya aku baru saja mengikat suatu ikatan hidup semati dengannya," jelasnya dengan suara pelan. Wajahnya menunduk.

"Eh?" gumamku.

"Itu artinya... aku melamarmu." Dia mengakhiri kalimatnya dengan wajah semerah tomat.

"Eeehhhhh!?" Seketika wajahku ikutan bersemu merah.

MirrorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang