Chapter Sepuluh

43K 3.2K 35
                                    

Suara adzan berkumandang ketika Alodie selesai mengambil air wudhu. Suara merdu yang selalu berhasil menggetarkan hati dan memberikan ketenangan bagi Alodie. Meskipun sampai saat ini gadis itu tidak mengetahui siapa pemilik suara merdu itu.

SMA Dharma Sakti adalah SMA swasta favorit yang muridnya dari berbagai kalangan termasuk dalam hal keyakinan. kebanyakan murid SMA Dharma Sakti ialah muslim, walaupun hanya beberapa yang siswi maupun guru berpakaian syar'i atau memakai jilbab. Tetapi sangat disayangkan, yang mengikuti sholat dzuhur berjamaah sangat sedikit. Sama halnya, saat Alodie melangkahkan kakinya memasuki mushola wanita hanya terlihat beberapa siswi yang memakai hijab yang Alodie sudah hafal sebagai anggota rohis. Rohis adalah salah satu ekstra kulikuler keagamaan di SMA Dharma Sakti.

"Sini gue bantuin, kayaknya repot banget," ucap Alodie pada salah satu anggota rohis yang sudah akrab dengannya, bernama Naya.

Gadis dengan hijab syar'i berwarna putih itu tampak kesulitan menggelar sajadah, ia mengalihkan pandangannya dan tersenyum manis ke arah Alodie yang langsung membantunya menggelar sajadah.

"Makasih Odie. Aku tadi belum sempet minta tolong anak rohis laki-laki soalnya keburu adzan," ujar Naya lembut.

"Ck. Kebiasaan banget. Padahal tau sendiri kalau calon imam gue itu adzannya tepat waktu."

Naya terkekeh pelan saat mendengar perkataan Alodie yang selalu menyebut salah satu siswa yang sering menjadi muadzin di mushola sekolah itu dengan sebutan calon imam. Padahal, setau Naya Alodie tidak pernah tahu siapa sosok laki-laki itu.

"Aku aminkan, tapi emangnya dia mau jadi imam kamu?"

"Pasti mau. Gue cantik, genius, siap jadi makmum doi juga," ucap Alodie dengan berbisik karena kumandang adzan sudah selesai.

Naya hanya tersenyum, ia merasa beruntung karena Allah tidak menutup hatinya untuk melihat seseorang hanya dari apa yang orang lain nilai. Naya mengetahui segala perkataan orang lain yang selalu membicarakan segala sifat dan perilaku buruk Alodie. Tetapi, saat gadis itu mengenal Alodie ia menjadi tahu bahwa Alodie tidak seburuk yang orang lain nilai. Don't judge a book by cover. Yang buruk di mata manusia, belum tentu buruk di mata Tuhan.

Mungkin Alodie menganut prinsip 'sikap saya terhadap orang lain ialah bagaimana sikap orang lain terhadap saya', gadis itu hanya akan bersikap baik pada orang yang sikapnya juga baik terhadapnya dan ia tidak perlu repot bersikap baik pada orang yang tidak pernah bersikap baik padanya.

Setelah mengucap salam dan berdzikir, Naya mengalihkan pandangannya menatap Alodie yang sholat di sampingnya. Naya selalu melihat Alodie menangis di dalam sholatnya. Entah apa yang membuat gadis itu selalu terlihat sedih juga rapuh di saat menengadahkan kepalanya dan mengangkat kedua telapak tangannya.

Setelah selesai sholat, Alodie langsung bergegas memakai sepatunya dan melangkah kan kakinya dengan tergesa-gesa keluar pagar mushola.

Bughh..

"Awshh ... siapa sih yang naro tembok di tengah jalan!?" gerutu Alodie dalam hati seraya mengusap keningnya yang terasa sakit.

"Siapa yang lo bilang tembok?"

Deg

"Sejak kapan tembok bisa ngomong?"

Alodie: The Queen Of Badness (END)Where stories live. Discover now