7. Akhir

37 11 2
                                    

...
Kebahagian yang sesungguhnya adalah ketika kamu mampu membuat orang tuamu bangga dengan hasil yang kamu raih.

Happy Reading
.
.
.

Hari ini adalah hari terakhir acara KAS. Pentas seni dan bazar dijadikan sebagai penutup untuk acara ini. Semua siswa tampak menikmati jalannya acara. Ada yang duduk di depan panggung pentas seni, ada yang membeli makanan ataupun minuman di area bazar, dan ada pula yang hanya duduk di bawah pohon rindang untuk sekedar bergosip. 

"Kemarin ada insiden lho di pertandingan futsal," ujar seorang gadis sambil berbisik pada teman-temannya.

"Halah, palingan juga adu mulut buat rebutan bola antar tim lawan," temannya menimpali.

"Bener tuh. Kan biasanya kalau yang main futsal itu cewek, bukan kaki yang main, tapi mulut," sahut yang lainnya sambil tertawa. 

"Ini lain daripada yang lain. Bukan itu!" 

"Terus apa?"

Gadis itu berdehem. "Bella sama Ira berantem kemarin," ujarnya sambil berbisik. 

"Kok bisa? Bukannya mereka itu satu tim ya?" tanya temannya heran.

"Iya satu tim. Jadi kemarin itu Ira jatuh gara-gara disenggol Bella, dia langsung bentak,terus Bella malah balas bentak, terus Septian datang maki-maki Bella. Genta yang notabenya pacarnya Bella gak terima kalau pacarnya dibentak. Adu mulut itu di tengah lapangan," jelasnya. 

"Palingan itu orang cari sensasi kali," teman yang lainnya masih tidak terlalu serius menanggapi. 

"Mana ada cari sensasi. Orang Ira jatuh beneran, sampai berdarah lututnya," ujarnya tak mau kalah.

"Padahal Ira sama Bella dulu dekat banget ya, eh cuma gara-gara cowok jadi gitu."

"Kalian semua gak ada kerjaan selain gosipin hidup orang?" Suara bariton seseorang membuat mereka menoleh ke belakang.

"Septian," ujar salah satu dari mereka sambil cengengesan. 

Septian memandang tajam mereka. Sedangakan seseorang yang di samping Septian hanya bisa menundukkan kepalanya.

"Gak sadar kalian dari tadi gue sama Ira di belakang kalian?" tanya Septian menantang.

Mereka diam. Benar-benar malu rasanya jika ketahuan bergosip  di depan orang yang digosipinya.

"Udah, Sep. Kita pergi saja," ujar Ira sambil menarik kaus olahraga Septian. 

Septian terpaksa mengikuti kemauan Ira dan pergi dari tempat itu. Walaupun kepalanya masih menoleh ke sekumpulan gadis yang membicarakan Ira tadi. Ia mengepalkan jari-jari tangannya dan mengangkatnya di udara.

"Kita duduk di sini ya. Gue mau nonton Mamat nyanyi," ujar Ira ketika sampai di depan panggung pentas seni.

"Janganlah, Ra. Ngapain coba nonton Mamat nyanyi, itu namanya mempermalukan diri sendiri." Septian dengan wajah memelas memohon kepada Ira.

Ira cemberut. 

"Iya-iya deh." Septian dengan berat hati menuruti kemauan Ira.

Mereka berdua langsung duduk di depan panggung pentas seni itu. Setelah kejadian di pertandingan futsal, Septian selalu mengikuti kemanapun Ira pergi. Ia takut jika Bella bertindak yang tidak-tidak pada Ira. Padahal Ira yakin, sebencinya Bella sekarang pada Ira, ia tidak akan mungkin menyelakai Ira. Mungkin kemarin hanya tidak kesengajaan, pikirnya. 

"Eee Bang Jono.." 

"Kenapa kau tak pulang-pulang.."

Septian menutup wajahnya dengan kedua tangannya ketika suara Mamat yang diikuti alunan gendang mulai terdengar menggema di seluruh lapangan. Ia benar-benar malu sekarang ini. Malu punya teman sebangku seperti Mamat. Sudah suaranya seperti radio rusak, ditambah lagi ia malah berjoget di atas panggung macam banci di jalanan. Septian heran, Ibunya Mamat ngidam apa saat hamil, sampai anaknya kayak begini.

"Teman lo itu, Sep?" tanya salah seorang teman Septian yang tak jauh dari dirinya dengan nada mengejek.

Septian menggeleng tegas, lalu membuang wajahnya ke samping. "Bukan, bukan temen gue itu."

"Teman sendiri gak diakui. Jahat lo, Sep," ejek yang lainnya.

"Jangan pura-pura gak kenal, Sep. Orang biasanya lo kut Mamat nyanyi dari panggung ke panggung." Lainnya menimpali dan langsung disambut gelak tawa.

Septian mendengus kesal. Sementara, Ira yang di sampingnya tertawa cekikikan.

***

Gadis itu terus menengok jam yang terpajang di dinding ruang tamunya. Gadis itu benar-benar gelisah saat ini. 

"Non, yang sabar. Jangan gelisah gitu," ujar wanita tua sambil mengelus pundaknya naik turun.

"Ira takut, Bi. Kalau Ira nggak juara kelas lagi gimana?" 

Gadis itu adalah Ira. Ira gelisah menanti-nanti Ayahnya yang belum juga pulang dari sekolahnya untuk mengambil rapornya. Ia khawatir tahun ini tidak bisa menjadi juara kelas lagi. Karena sejujurnya, kemarin waktu UAS berlangsung, Ira sama sekali tidak fokus. Pikirannya bercabang kemana-mana.

"Bi Em yakin, Non Ira bakal dapat peringkat 1 lagi," ujar Bi Em tegas untuk meyakinkan Ira.

Ira mengangguk lalu menatap Bi Em. "Amin. Makasih, Bi."

Ceklek

Suara pintu terbuka membuat Ira dan Bi Em bangkit dari duduknya.

"Ayah gimana?" Ira memandang Ayahnya dengan raut wajah antara gugup dan takut yang tidak bisa disembunyikannya.

"Mau tahu banget apa mau tau saja?" tanya Beno dengan nada menggoda. 

Ira membrengut kesal. "Kasih tahu Ira, Ayah," pinta Ira sambil menggoyangkan lengan Ayahnya berkali-kali.

"Ira nggak sabaran ya, Bi Em?" Beno malah bertanya pada Bi Em dengan tawanya.

Bi Em tertawa kecil lalu mengangguk.

"Iya-iya, Ayah kasih tahu," ujar Beno ketika Ira menarik lengan kemejanya dengan kuat.

Beno membuka suatu benda berbentuk persegi panjang berwarna biru, yang Ira ketahui itu adalah rapornya. Hasil belajarnya selama ini. 

"Ira dapat peringkat 3. Selamat," kata Beno dengan nada antusias. Bi Em yang ada di sebelah Ira, tersenyum bangga pada anak majikannya ini.

"Selamat, Non Ira."

Namun, Ira tak membalas semuanya. Ia sedih karena tidak bisa juara kelas lagi tahun ini. Malahan urutan peringkatnya menurun, dari peringkat 1 menjadi 3.

"Kok wajahnya ditekuk gitu?" tanya Beno ketika menyadari perubahan raut wajah anaknya itu.

Ira memeluk Beno. "Maafin Ira. Ira gak bisa buat bangga Ayah," gumamnya di pelukkan Beno. 

Beno balas memeluk Ira lalu mengusap rambut anaknya. "Ira selalu buat Ayah bangga dengan semua yang Ira lakukan. Ayah selalu bangga sama Ira," ujarnya membuat Ira mendongak dan menatapnya dengan senyum yang merekah.

Ira juga bangga punya orang tua kayak Ayah

TBC

ForelsketTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang